DI sepanjang tahun 2016, relasi Tanah Papua dan Jakarta tidak dalam kondisi baik baik saja. Sekalipun Presiden Jokowi melakukan beberapa kali kunjungan kenegaraan ke Tanah Papua, tetapi nilai kunjungan tersebut terlihat hanya sebatas kegiatan seremonial yang sibuk mengkalkulasi infrastruktur perifer, yang sama sekali tidak menyinggung persoalan substansi terkait pengelolaan sumber daya alam yang berpihak pada rakyat dan bangsa Papua.
Selain itu, publik nasional hanya disuguhkan pemberitaan oleh media nasional, yang seolah olah kunjungan kerja ke Tanah Papua yang dilakukan oleh presiden Jokowi, merupakan prestasi besar. Padahal tidak sedikit, kunjungan kerja kepala negara ke Tanah Papua, ikut menguras kas keuangan daerah, dimana APBD Daerah ikut membiayai kegiatan seremonial presiden beserta rombongan dari Pusat.
Rakyat di Tanah Papua telah lama menginginkan pemberian otonomi yang seluas luasnya, bukan dalam bentuk otsus papua – seperti yang dijalankan saat ini, dimana Pusat mengendalikan pegelolaan transfer keuangan daerah, baik berbentuk dana otsus maupun anggaran pembangunan infrastruktur.
Model pengelolaan anggaran seperti ini, telah lama menjadi sasaran eksploitasi pegusaha nasional dan para politisi Jakarta, menjual-belikan pengaruh, untuk ikut mendapatkan bagian keuntungan “fee proyek” setelah mekanisme pembahasan anggaran disetujui dalam skema budgeting pemerintah pusat.
Sederhananya, pendapatan negara yang diperoleh dari hak monopoli pemerintah pusat terhadap aset aset vital dan strategis di Tanah Papua, yang terdiri dari sumber daya minyak dan gas alam, sumber daya pertambangan, sumber daya kehutanan, sumber daya kelautan, dll, dikumpulkan dalam skema penerimaan negara melalui kementerian keuangan (baik berbentuk pendapatan perpajakan, maupun pendapatan non perpajakan/PNBP), lalu kemudian berproses mengikuti skema pembagian anggaran yang ditetapkan dalam anggaran transfer ke Tanah Papua, baik berbentuk anggaran maupun berbentuk program pembangunan “proyek”.
Pada dasarnya rakyat di Tanah Papua tidak dalam rangka ingin mendirikan sebuah negara dalam negara. Tetapi substansinya adalah menyangkut “social justice, tujuan bernegara yang di jiwai oleh sila ke 5 pancasila” yang direfleksikan terhadap isu isu utama terkait pengelolaan sumber daya alam yang langsung dapat dimanfaatkan oleh rakyat di Tanah Papua, untuk mengejar defisit pembangunan yang mencakup persoalan multidimensional di Tanah Papua. Siapa yang bilang, kalau Tanah Papua hanya butuh infrastruktur jalan, jembatan, pelabuhan dan bandara saja. Itu adalah basic infrastruktur yang hanya terkait satu sektoral saja, yaitu pembangunan di sektor transportasi dan perhubungan.
Jika hanya menyoal infra transportasi dan perhubungan, bagaimana nasib pembangunan di sektor kesehatan di Tanah Papua, bagaimana nasib pembangunan di sektor pendidikan, resolusi masalah penciptaan lapangan pekerjaan bagi banyak angkatan kerja muda terdidik di Tanah Papua yang saat ini sedang mengalami pengangguran, bagaimana nasib penguatan desentralisasi fiskal di Tanah Papua, bagaimana nasib pembangunan industrialisasi di Tanah Papua, bagaimana cara agar uang yang masuk ke Tanah Papua melalui berbagai skema transfer anggaran pusat dan proyek-proyek pusat tidak sekedar singgah di Tanah Papua dan kembali ke kantong kantong produksi di Pulau Jawa, bagaimana resolusi nyata untuk mengurangi tingginya angka kemiskinan di Tanah Papua, bagaimana cara agar pertumbuhan ekonomi di Tanah Papua tidak selalu menjadi rangking yang terakhir di nusantara, bagaiman rakyat di Tanah Papua dapat menjadi “leader/owner” terkait pengelolaan sumber daya alam di Tanahnya sendiri dan bukan hanya menjadi penonton sekaligus buruh murah bagi para pemilik modal asing dan monopoli bisnis pemerintah pusat.
Sehingga dengan memetakan kebutuhan mendasar “fundamental” terkait urgensi pembangunan multidimensional di Tanah Papua “tidak hanya menyoal infrastruktur perhubungan dan transportasi semata”, maka Tanah Papua membutuhan penguatan desentralisasi fiskal bagi pelaksanaan fungsi pemerintahan dan pembangunan di Tanah Papua. Kelemahan pola sentralisasi fiskal, yang mengandalkan “niat baik” pusat dalam menyediakan alokasi anggaran tahunan ke Tanah Papua, selalu dibayang-bayangi oleh “negosiasi elit dan pengusaha nasional”, yang seringkali mendapatkan “golden ticket” untuk menjatah sejumlah proyek strategis nasional di Tanah Papua. Hal ini sama saja berarti, pemerintah pusat mengklaim mekanisme “transfer anggaran”, dan juga memonopoli mekanisme realisasinya. Dengan demikian, rakyat di Tanah Papua beserta unsur penyelenggara negara yang menjadi wakil pemerintah pusat di Tanah Papua, hanya menjadi pelengkap administratif dan statistik untuk keperluan “input data” yang pada gilirannya “pelaksanaan berbagai proyek” diserahkan kepada elit elit nasional.
Tema tentang desentralisasi fiskal di Tanah Papua, tidak akan pernah berhasil dilakukan jika Pemerintah Pusat masih memonopoli pengelolaan sumber daya alam strategis di Tanah Papua. Pemda dan rakyat di Tanah Papua, bukanlah “unsur” asing di negeri nusantara, rakyat adalah komponen utama terbentuknya sebuah negara, yang berarti rakyat dan pemda di Tanah Papua adalah ujung tombak kesuksesan negara membangun dan mencapai tujuan bernegara.
Oleh karena itu, dalam momentum yang sangat berharga, setelah lebih dari 49 Tahun (1967-2016), pengelolaan sumber daya pertambangan “emas dan tembaga” terbesar di dunia oleh PMA asal Amerika Serikat disertai kepemilikan Pemerintah Pusat sebesar 9,36%, maka rakyat di Tanah memandang sudah saatnya, rezim sentralisasi pengelolaan sumber daya alam, melalui subyek PMA PT. Freeport Indonesia, menerapkan desentralisasi pengelolaan sumber daya pertambangan yang dimonopoli oleh McMoran dan Pemerintah Pusat dengan menyerahkan sebagian hak hak kepemilikan “saham” kepada rakyat dan bangsa Papua.
Dengan memiliki saham di PT. Freeport Indonesia, rakyat dan bangsa Papua bersama elemen Pemerintah Daerah di Tanah Papua, dapat ikut berpartisipai menentukan masa depan pengelolaan sumber daya strategis di tanahnya sendiri. Tentunya keuntungan jangka pendeknya, dimana disetiap keuntungan perusahaan PT. Freeport Indonesia, akan ikut menyertakan bagi hasil pendapatan dan keuntungan saham “capital gain” berdasarkan proporsi kepemilikan saham Tanah Papua di PT. Freeport Indonesia, yang pada gilirannya akan ikut memperkuat kapasitas fiskal Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah di Tanah Papua “desentralisasi fiskal”.
Selain target akuisisi saham yang wajib mengikutsertakan rakyat dan bangsa Papua dalam rezim perpanjangan kontrak karya jilid ke 3 (IUP) di periode tahun 2021 mendatang, Tanah Papua juga sangat membutuhkan hilirisasi industri strategis, termasuk kepastian pembangunan smelter di Tanah Papua. Sejalan dengan ambisi besar Presiden Jokowi yang ingin menuntaskan hambatan konektivitas domestik di Tanah Papua, yang berniat hendak membuka simpul simpul perekonomian di seluruh kawasan Tanah Papua, rasanya sangat tidak tepat jika Presiden hanya membuka jalur konektivitasnya saja, tetapi membiarkan simpul-simpul perekonomian di Tanah Papua, kosong tanpa kehadiran pusat pusat industrialisasi yang dapat menjadi lokomotif utama yang menggerakkan sektor hilir ekonomi di Tanah Papua (para penggiat perekonomian berbentuk UMKM dan UKM).
Dengan hadirnya pusat pusat industri besar, dapat dipastikan pertumbuhan ekonomi di sektor hilir masyarakat akan ikut terbangun, misalkan dalam satu aspek perekonomian, penyerapan tenaga kerja yang sangat besar di kawasan industri smelter PT. Freeport Indonesia, akan ikut membangun industri makanan (rumah makan dan restoran yang dibutuhkan oleh tenaga kerja), selanjutnya akan berdampak pada sektor pertanian tanaman pangan dan holtikultura, termasuk peternakan dan perikanan (masyarakat dapat bertani, berkebun, beternak dan menjual hasil pertaniannnya di pusat pusat industri yang menjadi target pasar perekonomian masyarakat), kehadiran pusat industri juga menghidupkan sektor perumahan, perhotelan, jasa transportasi, jasa administrasi, penyerapan tenaga kerja terdidik, lapangan pekerjaan sektor informal dan lain lain.
Oleh: Willem Wandik, S. Sos, Anggota DPRI Komisi V Perwakilan Papua Bidang Infrastruktur dan Pengolahan Sumber Daya Alam.