KedaiPena.Com – Setelah ‘tax amnesty’ dilaksanakan, memang sudah sewajarnya Ditjen Pajak mendapat akses terhadap rekening di lembaga keuangan, baik bank maupun non-bank.
Demikian dikatakan akademisi Perbanas Institute, Dradjad H Wibowo, PhD dalam keterangan yang diterima KedaiPena.Com, Sabtu (20/5).
Hal ini dikatakan Drajad setelah pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2017.
Dengan ini, Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) bebas untuk mengakses data nasabah dari lembaga keuangan, seperti perbankan, asuransi, pasar modal dan entitas sejenis.
“Di sisi lain, Indonesia ikut meneken komitmen global terkait Pertukaran Informasi Otomatis (Automatic Exchange of Information-AEoI). Indonesia, seperti juga Singapura dan Malaysia, sudah berkomitmen melaksanakannya mulai 1 Januari 2018, sementara negara lain seperti Australia mulai 1 Januari 2017,” tegas dia.
Detil dari pelaksanaan AEoI ini masih perlu dimatangkan antar negara, baik secara multilateral atau bilateral. Namun ada catatan penting, Amerika Serikat tidak ikut meneken AEoI. Justru negara lain “dipaksa” menyetor data nasabah WN AS kepada AS melalui Fatca (Foreign Account Tax Compliance Act).
“Jadi substansi Perppu ini memang sudah sewajarnya dijalankan, dan harus dijalankan,” ujarnya.
Meski demikian, ada beberapa hal yang amat sangat krusial dijaga oleh pemerintah. Yaitu kewenangan ini sangat rawan disalah-gunakan oleh oknum pajak yang nakal. Perppu memberi kewenangan yang luar biasa besar kepada aparat pajak, ditambah dengan denda ‘tax amnesty’ yang sangat besar.
Di sisi lain, mekanisme pengawasan serta ‘check and balance’ tidak disiapkan. Hanya mengikuti mekanisme generik yang ada di Kementerian Keuangan.
“Kondisi ini membuat pemilik rekening keuangan yang lalai dalam perpajakan sangat rawan menjadi korban pemerasan. Risiko KKN juga meningkat tinggi. Ini terlepas dari apakah pemilik rekening tersebut lalai dengan sengaja atau tidak, ataupun karena selama ini kurang perhatian terhadap aturan perpajakan,” jelasnya.
Kondisi di atas berpotensi membuat nasabah keuangan panik. Seharusnya memang tidak perlu panik, asalkan mereka sudah ikut ‘tax amnesty’ dengan benar. Ditambah dengan belum adanya perjanjian bilateral dengan Singapura terkait hal ini, risiko kepanikan ini bisa berubah menjadi risiko pelarian modal.
Pemilihan Perppu sebagai dasar hukum, Drajad melanjutkan, bukan Undang-Undang yang normal, bisa menambah efek psikologis negatif. Ini karena DPR hanya punya dua pilihan, menerima atau menolak Perppu. Tidak ada pilihan “memperbaiki berdasarkan masukan masyarakat”. Tidak ada peluang membangun mekanisme pengawasan serta check and balance.
“Karena itu, demi kebaikan bersama, AEoI harus kita dukung bersama. Namun yang paling ideal, dasar hukumnya sebaiknya UU yang normal, dengan pembahasan dipercepat supaya bisa kita terapkan 1 Januari 2018. Dengan demikian, masukan dari masyarakat bisa diakomodasikan, mekanisme pengawasan serta ‘check and balance’ bisa dibangun,” ia menambahkan.
Namun jika memang disepakati terdapat “kegentingan yang memaksa”, saya menyarankan agar pemerintah menyusun PP yang berisi mekanisme pengawasan serta ‘check and balance’, untuk mencegah risiko kepanikan.
Selain itu, sebaiknya segera ditetapkan bahwa Perppu ini akan diterapkan bertahap, di mana mereka yang disasar pada tahun pertama adalah nasabah Badan atau Orang Pribadi dengan saldo yang besar dan atau tidak ikut tax amnesty.
Ada baiknya juga dipertimbangkan untuk memberi kesempatan kepada mereka yang lalai dalam program tax amnesty untuk mendapatkan keringanan tertentu.
Masih banyak langkah lain yang bisa dilakukan untuk mengurangi risiko yang merugikan kepentingan nasional.
“Intinya, saya mengajak semua pihak untuk mendukung kebijakan Presiden dalam AEoI ini karena hal ini adalah kebijakan yang benar. Tapi saya mengingatkan agar pemerintah “mengambil ikannya tanpa membuat keruh airnya”,” tandas dia.
Laporan: Galuh Ruspitawati