PLASTIK konvensional dan sampahnya selalu jadi masalah di tingkat lokal, nasional dan internasional. Plastik adalah senyawa makromolekul organik yang diperoleh dengan cara polimerisasi, polikondensasi, poliadisi, atau proses serupa lainnya dari monomer atau oligomer atau dengan perubahan kimiawi makromolekul alami.
Menurut Nurhenu Karuniastuti, plastik adalah salah satu bahan yang dapat kita temui di hampir setiap barang. Menurut penelitian, penggunaan plastik yang tidak sesuai persyaratan akan menimbulkan berbagai gangguan kesehatan, karena dapat mengakibatkan pemicu kanker dan kerusakan jaringan pada tubuh manusia (karsinogenik). Selain itu plastik pada umumnya sulit untuk didegradasikan (diuraikan) oleh mikro organisme.
Sampah plastik dapat bertahan hingga bertahun-tahun sehingga menyebabkan pencemaran terhadap lingkungan. Sampah plastik tidaklah bijak jika dibakar karena akan menghasilkan gas yang akan mencemari udara dan membahayakan pernafasan manusia, dan jika sampah plastik ditimbun dalam tanah maka akan mencemari tanah, air tanah.
Untuk itu perlu diketahui tentang jenis-jenis utama plastik: kode PET, HDPE, PVC, LDPE, PP, PS, OTHER sehingga jika memakai plastik yang lebih aman yaitu dengan kode HDPE, LDPE, PP, OTHER (kecuali PVC) dan penanggulangan terhadap sampah plastik.
Nurhenu Karuniastuti lebih lanjut mengatakan, sampah plastik dapat bertahan hingga bertahun-tahun sehingga menyebabkan pencemaran terhadap lingkungan.
Sampah plastik tidaklah bijak jika dibakar karena akan menghasilkan gas yang akan mencemari udara dan membahayakan pernafasan manusia, dan jika sampah plastik ditimbun dalam tanah maka akan mencemari tanah, air tanah.
Plastik sendiri dikonsumsi sekitar 100 sampai 400 juta ton/tahun di seluruh dunia. Satu tes membuktikan 95% orang pernah memakai barang mengandung Bisphenol-A.
Oleh karena itu, kata Nurhenu K, pemakaian plastik yang jumlahnya sangat besar tentunya akan berdampak siqnifikan terhadap kesehatan manusia dan lingkungan karena plastik mempunyai sifat sulit terdegradasi (nonbiodegradable), plastik diperkirakan membutuhkan 100 hingga 500 tahun hingga dapat terdekomposisi (terurai) dengan sempurna.
Dengan demikian pemakaian plastik baik plastik yang masih baru maupun sampah plastik haruslah menurut persyaratan yang berlaku agar tidak berbahaya terhadap kesehatan dan lingkungan.
Menurut Koalisi Pemantau Plastik Ramah Lingkungan Indonesia (KPPL-I, 2018), fakta-fakta tentang sampah plastik. Pertama, materi plastik sangat susah dihindari dari kehidupan saat ini. Kedua, kekurangan kesadaran masyarakat masyarakat untuk memilah dan membuang secara benar sehingga membebani lingkungan.
Ketiga, tidak semua sampah plastik dapat tertangani dalam proses recycling dan fatanya plastic tidak dapat di-recyle terus-menerus. Keempat, diperlukan pendekatan secara holistik dalam menangani sampah plastic. (KPPL-I, 2018).
Sedangkan tantangan bagi industri plastik, pertama, kampanye pembatasan/pelarangan material plastik terutama kantong plastik semakin gencar. Kedua, tuntutan konsumen atas properties produk plastic yang semakin tinggi, sehingga menghasilkan produk plastik yang “tidak ramah” untuk masuk dalam proses recycling convensional.
Ketiga, sampah kantung dan kemasan plastic yang tidak tertangani dengan baik dan tidak adanya solusi yang holistik, maka pemerintah akan membuat produk hukum untuk pembatasan/pelarangan kantong plastik. Keempat, belum singkronnya regulasi yang dikeluarkan pemerintah sehingga membuat bingung kalangan industri.
Permasalahan utama penanganan sampah darat, terutama jumlah komposisi sampah, dan terutama sampah plastik, apakah didasarkan pada data lapangan yang valid dan secara ilmiah dapat dipertanggung jawabkan? Karena selama ini data yang dimiliki Pemerintah Pusat dan Kabupaten/Kota bersifat asumsi atau perkiraan.
Kelangkaan data sampah di daratan yang valid dan akurat secara nasional sedang jadi masalah! Apalagi data sampah plastik di laut, kemungkinan besar sifatnya baru asumsi. Data asumsi ini kurang tepat bila dijadikan pijakan sebagai input pengambilan keputusan dan kebijakan. Sehingga kita dapat mengatakan, kurang yakin kesahihannya, bahwa Indonesia sebagai pencemar sampah plastic di lautan peringkat atas, nomor dua di dunia setelah Cina.
Menurut World Bank, Asia Timur adalah dengan wilayah pertumbuhan produksi sampah tercepat di dunia. Riset yang diterbitkan menunjukan, di antara 192 negara di dunia yang sudah dianalisa, lima negara bertangung jawab atas lebih dari 50% keseluruhan sampah plastik di lautan. Semua berada di kawasan Asia Timur, yaitu Cina, Indonesia, Vietnam, Filipina, dan Thailand.
Bila 70% kebocoran sampah dari daratan di empat negara tersebut (semua di Asia Timur, China, Indonesia, Filipina dan Vietnam) dapat ditekan, hal ini akan mengurangi aliran sampah ke lautan secara global sebesar 45%.
Studi McKinsey 2015 menunjukkan bahwa dua pemicu utama kebocoran sampah plastik adalah sampah yang tidak terpungut dan rendahnya nilai beberapa jenis plastic tertentu. Studi tersebut menemukan bahwa 75% sumber kebocoran sampah dari daratan berasal dari sampah yang tidak terpungut dan 25% dari sistem resmi pengelolaan sampah padat perkotaan.
Selain itu, bahwa upaya daur ulang saja tidaklah cukup untuk mengurangi kebocoran sampah plastik ke lautan, karena tercatat hanya 20% plastik yang memiliki nilai memadai untuk didaur ulang.
Lagi pula, untuk setiap metrik ton plastik yang tidak terpungut di sekitar aliran air, 7 kilogram plastik memasuki lautan, dan untuk setiap metrik ton plastik yang berhasil dipungut, 7 kilogram bocor ke lautan selama proses pengumpulan dan pembuangan, mengarisbawahi pentingnya upaya pemungutan primer dan negaskan bahwa, meskipun pencemaran sampah plastik di laut merupakan tantangan global, solusinya membutuhkan tindakan pada tingkat lokal.
Dalam laporan sintesis itu, Hotspot Sampah Laut Indonesia (April 2018), dikatakan dari semua pencemar peringkat teratas, Indonesia berada pada peringkat kedua di bawah Cina. Pada tahun 2020, Indonesia memiliki populasi pesisir sebesar 187,2 juta yang tinggal dalam jarak 50 km dari pesisir dan setiap tahunnya menghasilkan 3,22 juta ton sampah yang tak terkelola dengan baik, dan diperkirakan mengakibatkan kenocoran 0,48-1,29 juta ton metrik sampah plastik per tahun ke lautan.
Menghadapi situasi pencemaran sampah plastik tersebut bagi pemerintah Indonesia tampaknya masih berada dalam persimpangan (cross-road), sebab persoalannya begitu kompleks dan rumit. Jutaan ton sampah plastik menumpuk di TPA-TPA, daratan sembarangan tempat, pesisir dan lautan, meskipun Indonesia sudah mengeluarkan UU No. 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah, Peraturan Pemerintah. No. 81/20012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Rumah Tangga, Perpres No. 97/2017 tentang Strategi dan Kebijakan Nasional Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sejenis Rumah Tangga.
Pemerintah menargetkan penanganan sampah 70% dan pengurangan sampah 30% pada tahun 2025. Pada saat ini pelayanan sampah tingkat lokal masih rendah, moyoritas sekitar 42-50%. Padahal mayoritas Kabupaten/Kota sudah mempunyai Perda tentang Pengelolaan Sampah dan sebagian sedang menyusun Jakstrada.
Cara-cara kita memperlakukan sampah plastik sebagian besar masih primitif, membuang langsung ke lahan kosong, pinggir jalan, drainase, bekas galian tanah, DAS dan badan sungai. Sejumlah daerah yang dilakukan rapid assesment, tampak sekali bahwa masyarakat lebih senang membuang sampah, termasuk sampah plastik konvesional ke sembarang tempat, seperti plastik kresek, plastik sachet dianggap tak bernilai ekonomis, popok, pempers, dan lain-lain.
Sejumlah kali/sungai dijadikan tong sampah raksasa, seperti Kali Baru, Kali Cidurian, Kali Ciliwung, Kali Cisadane, Kali Jalmbe, Kali Cikarang, Kali CBL, Kali Cibeet, dllan lain-lain. Ketika musim hujan datang kali-kali itu penuh sampah dan sampah plastik. Kemudian sampah-sampah plastik itu terbawa air hingga ke pesisir dan lautan, seperti Pesisir Teluk Naga Tangerang, Pesisir Muaragembong Kabupaten Bekasi, dan sebagainya.
Menyikapi pencemaran sampah plastik harus ada upaya-upaya serius, konsisten dan berkelanjutan. Para produsen plastik harus mulai memikirkan siklus yang berkelanjutan, siklus yang ramah lingkungan (biodegradable plastic). Secara bertahap harus mengurangi dan menghilangkan produk plastik konvensional.
Semestinya kita berpikir tentang produk biodegradable plastic secara tuntas. Namun, perlu juga tahapan reformasi menuju plastik mudah terurai dalam jangka setahun, dua tahun atau lebih pendek ketimbang yang 100 sampai 500 tahun lamanya.
Produk plastik mudah terurai dalam jangka pendek dan menengah dapat mengacu pada SNI 7188.7:2016, Kriteria ekolabel, Bagian 7: Kategori produk tas belanja plastik dan bioplastik mudah terurai.
Produk kantong plastik secara bertahap dapat melihat berbagai produk yang mudah terurai. Misal kantong plastik ramah lingkungan sudah diterbitkan Ekolabel Tipe 1 SNI dan Tipe 2 Swadeklarasi Kantong Ramah Lingkungan oleh PUSTANLINGHUT KLHK sendiri dan juga SNI 7188.7-2016 Kategori Produk Tas Belanja Plastik dan Bioplastik mudah terurai.
Di dalamnya sudah ada pilihan-pilihan teknologi ramah lingkungan baik full biodegradable, bio based degradable maupun oxo-biodegradable yang memenuhi uji standar-standar tes internasional.
Untuk mengurangi produk plastik konvensional menuju plasti ramah lingkungan perlu membuat road map agar ada suatu kepastian berpikir dan bertindak. Bahwa Indonesia concern melakukan pengurangan plastik konvensional dalam rangka mengurangi sampah plastik baik di daratan maupun perairan dan laut.
Oleh Bagong Suyoto adalah Ketua Koalisi Persampahan Nasional (KPNas) dan Dewan Pembina Koalisi Pemantau Plastik Ramah Lingkungan Indonesia (KPPL-I)