KedaiPena.Com – Meskipun pimpinan KPK membantah bahwa pemeriksaan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar murni hukum, rakyat yang melek politik tidak tidak akan pernah percaya tersebut. Hanya rakyat yang naif atau mungkin bodoh yang percaya bahwa pemeriksaan itu tidak berhubungan dengan politik.
Demikian disampaikan Didik J Rachbini, Rektor Universitas Paramadina dalam keterangan yang diterima redaksi, Senin (11/9/2023).
“Inilah kesimpulan dari langkah KPK sekarang ini dan terkait dengan rententan langkah dan proses yang terjadi bertahun-tahun sebelumnya setelah KPK dikerdilkan sedemikian rupa secara politik oleh kekuasaan,” kata dia.
Didik menambahkan, Dari historis perilaku pimpinan KPK selama ini, ada indikasi kuat jawaban tersebut adalah kebohongan yang vulgar. KPK diindikasikan masuk ke dalam wilayah haram ranah politik praktis, yang implikasi politik rezim selanjutnya akan vulgar juga memanfaatkan KPK sebagai alat politik.
“Dengan langkah vulgar plus historis yang lebih vulgar juga, selanjutnya KPK benar-benar menjadi alat politik penguasa. KPK sudah menjadi subordinat penguasa dalam hal ini pemerintah, yang bisa dengan mudah dijadikan alat kepentingan politik,” ungkapnya.
Hal itu bermula dari amandemen UU KPK, yang ditentang masyarakat luas dan mahasiswa di seluruh Indonesia. Bahkan secara ekspresif mahasiswa melakukan demonstrasi yang masif secara nasional untuk menentang amandemen UU KPK tersebut. Bahkan sudah terjadi korban meninggal tetapi rezim ini terus melakukan pelemahan KPK, yang menjadi alat penguasa pada saat ini.
“Peristiwa ini tidak berdiri sendiri. Arus politik bawah tanah berkelindan sangat kuat dengan hukum dan arus itu mengendalikan banyak hal termasuk hukum dan politik praktis sekaligus pada masa menjelang pilpres dan pileg. Di dalam politik, para aktornya bisa berperan sebagai aktor baik dan sekaligus aktor jahat secara bersamaan. Aktor jahat yang mengendalikan permainan di titik panas dan kritis seperti sekarang ini dan bisa melabrak hukum yang menjadikan sebagai alatnya,” paparnya.
Masih kata Didik, cara berpolitik brutal seperti ini dengan menjadikan hukum sebagai alat politiknya. Ini merusak demokrasi yang kemudian akan mewariskan resiko dendam dan perkelahian politik secara terus menerus. Jika rezim berganti baru dan berbeda pandangan, mereka akan siap mengambil tindakan balas dendam. Setiap pergantian rezim akan selalu ada dendam dan balas dendam yang merusak demokrasi. Ini terjadi karena hukum dan keadilan dirusak oleh kekuasaan politik.
“Dan yang lebih penting untuk dicermati, biasanya penguasa yang otoriter selalu menjadikan hukum sebagai alat politik untuk meredam lawan-lawannya. Jika kita membiarkan ini terus berlalu, maka sama saja dengan membiarkan penguasa otoriter memperkuat dirinya dengan melemahkan hukum,” tandasnya.
Laporan: Muhammad Rafik