AJUN Komisaris Besar Polisi Mangil Martowidjojo tak dapat menahan bangga saat pidato Bung Karno menggelegar ditingkahi oleh gemuruh tepuk tangan para wakil bangsa-bangsa dalam Sidang Umum XV PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) di New York, Amerika Serikat, pada bulan Agustus 1960.
Andai ia bukan ajudan yang merupakan pengawal pribadi Presiden Sukarno ingin rasanya ia ungkapkan rasa bangganya dengan ikut bersorak atau memekikkan kata-kata kagum kepada Presiden Pertama RI itu.
‘’Bung Karno menawarkan kepada PBB agar masyarakat dunia dapat hidup tenang, sejahtera lahir batin, aman tenteram dan damai, maka PBB memakai Pancasila, memakai asas Pancasila. Bung Karno menerangkan satu per satu, butir per butir dari kelima mutiara itu dengan gayanya yang sangat luar biasa,’’ kenang Mangil di dalam memoarnya, ‘’Kesaksian Tentang Bung Karno 1945-1967’’.
Itulah pidato Sukarno yang terkenal, To Build The World A New, yang menggetarkan dan memberikan cakrawala pandang baru kepada para pemimpin dunia ketika itu.
Saat akhir pidato tepuk tangan berlangsung tak henti-hentinya. Para wakil bangsa-bangsa berdiri dengan bertepuk tangan tanda menyetujui apa yang diucapkan oleh Sukarno.
Pidato dalam bahasa Inggris itu diterjemahkan pula ke dalam bahasa Rusia, Perancis, Jerman, dan China.
Demikianlah salah satu dari sekian banyak reputasi internasional Sukarno di forum dunia. Ia bukan saja menunjukkan bahwa Indonesia adalah bangsa yang beradab, bukan bangsa yang oleh kolonialis Belanda dulu dihinakan sebagai Het Zachtmoedigste Volk ter Aarde alias Bangsa Yang Paling Lunak di Dunia, atau ‘’Bangsa Tempe Yang Selalu Dikira Tidur Ayam’’.
Sukarno melalui pidato yang memikat dan mengikat para pendengarnya itu membuktikan Indonesia bukanlah bangsa yang berjiwa Minderwaardigheids-Complexen atawa bangsa yang minder belaka, yang hanya bisa membungkuk-bungkuk dan berdiri mengapurancang di muka para pembesar asing dan aseng.
Kini di tengah sikap inwardlooking para elit penguasa hari ini yang saling bertikai untuk urusan-urusan yang semakin menjauh dari persoalan-persoalan substantif solusi kebangsaan beruntunglah Indonesia masih memiliki tokoh seperti Dr Rizal Ramli, sosok tokoh nasional yang sejak muda belia telah memiliki riwayat panjang dalam forum dunia.
Dalam jabatannya sebagai Menko Maritim dan Sumber Daya yang hanya sebelas bulan itu misalnya –(Rizal Ramli mendadak direshuffle secara zolim akibat adanya kepentingan para taipan dan Pengpeng alias penguasa merangkap pengusaha)–, legacy Rizal antara lain adalah mengubah nama Laut China Selatan menjadi Laut Natuna Utara, yang secara kepentingan geopolitik nasional merupakan langkah terobosan di tengah berkecamuknya sengketa sejumlah negara asing terhadap kawasan itu. Perubahan nama ini telah diakui oleh dunia internasional.
Sebagai tokoh yang menjalin persahabatan dengan para pemimpin Asia, antara lain dengan Mahathir Mohamad (termasuk dengan Anwar Ibrahim dan Nadjib Razak), dan para pemimpin China, Rizal Ramli menyampaikan gagasan penting mengenai perlunya melakukan diplomasi berupa negosiasi untuk membatasi kehadiran para Tenaga Kerja China maksimal menjadi lima persen, agar tidak menimbulkan keresahan dan gejolak di tengah sempitnya lapangan kerja nasional dan tingginya angka pengangguran di dalam negeri.
Rizal merupakan sahabat dekat Amartya Sen peraih Nobel Bidang Ekonomi asal India, yang bersama-sama dengan Rizal merupakan panelis dan penasihat ahli ekonomi untuk badan dunia PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa). Termasuk bersama Sir James Alexander Mirrlees ekonom terkemuka asal Skotlandia, peraih Nobel Bidang Ekonomi.
Pada akhir 1990-an ketika Vietnam hendak mempercepat pembangunannya, Rizal Ramli diminta badan PBB yaitu UNDP (United Nations Development Programme) untuk mereview rencana pembangunan 20 tahun Vietnam.
Sebagai ekonom pejuang ekonomi pro kerakyatan Rizal Ramli memiliki jaringan dan pertemanan yang luas dengan para ekonom internasional dan merupakan dosen tamu di sejumlah universitas terkemuka luar negeri.
Terobosan lain Rizal Ramli saat jadi Menko adalah mempelopori berdirinya Dewan Negara-Negara Produsen Minyak Sawit/Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC), hingga menjadi komunikator perintis bagi kerjasama maritim dengan negara-negara seperti Belgia, Perancis, Portugal, Belanda, dan lainnya yang merupakan bagian dari Diplomasi Maritim demi untuk mewujudkan cita-cita Poros Maritim yang konon katanya dicita-citakan oleh Presiden Jokowi.
Waktu mahasiswa di ITB Rizal telah terbiasa diundang untuk menghadiri forum-forum internasional, bahkan mendapatkan bea siswa di Jepang dan kemudian menempuh pendidikan ekonomi di Boston, Amerika, hingga mencapai gelar doktor.
Ketika sehabis Arab Spring PBB meminta Rizal Ramli untuk memberikan kuliah tentang transisi ekonomi kepada para pemimpin Arab Spring yang berkumpul di Maroko.
Ketika masih aktif menjalankan Econit, lembaga ekonomi yang paling disegani oleh Orde Baru karena forecasting-nya yang cermat dan banyak terbukti, Rizal Ramli hampir dua atau tiga kali ke luar negeri setiap bulannya untuk memenuhi berbagai undangan, dan menerima banyak tamu dari berbagai negara di kantornya yang sederhana, sehingga tidak heran hampir di tiap negara Rizal Ramli memiliki sahabat.
Seakan memiliki pertalian riwayat; Sukarno dan Rizal Ramli masing-masing memiliki banyak sahabat di mancanegara. Nama Sukarno sendiri diabadikan menjadi nama jalan raya di sejumlah negeri, seperti di Maroko, Pakistan, Mesir, Lahore, dan dijadikan nama sebuah masjid di St Petersburg.
Dalam beberapa hari belakangan ini Rizal Ramli kembali menyuarakan kepentingan Indonesia di forum dunia dengan memenuhi undangan dari Heritage Foundation, sebuah lembaga prestisius, yaitu yayasan para pemikir Amerika Serikat yang memegang peranan penting dan berpengaruh di negeri Paman Sam itu dalam hal kebijakan umum.
Selama di Amerika Rizal menjadi tokoh penting untuk didengarkan pandangannya termasuk oleh para pemikir maritim Amerika di Washington dan di Arlington. Menurut rencana Rizal Ramli juga akan hadir dalam forum Carter Center.
Esensinya sebagai patriot nasionalis sejati Rizal Ramli menyuarakan kepentingan Indonesia dalam konteks geopolitik, geoekonomi, serta geostrategis di forum-forum berwibawa tersebut.
Harus dikatakan pula bahwa Rizal Ramli adalah capres terdepan yang menyuarakan Indonesia di forum dunia saat ini, ketika para capres atau para cawapres lainnya ribet oleh urusan pencitraan, oleh omong kosong yang mengelabui rakyat, dan disinyalir terlibat dalam kasus-kasus hukum.
Mereka ternyata ibarat kodok di dalam tempurung. Mengaum laksana singa ompong. Ibarat kambing mengembik-ngembik di dalam kandang.
Oleh Arief Gunawan, Wartawan Senior