Dalam dialog ringan tentang calon wali kota Tangerang Selatan (Tangsel) dengan seorang tokoh di kota ini, saya tergelitik dengan satu pertanyaan singkat dari sang tokoh, yang bilang begini: coba renungkan, pilih kalimat mana yang terbaik. “Aku Mampu” atau “Kamu Mampu?”
Itu persis seperti kalimat pendek yang sering saya tulis tentang kepemimpinan. Dalam salah satu qoute saya yang viral di media sosial tertulis begini: “Pemimpin itu harus yang diinginkan (Kamu Mampu), bukan lahir dari yang menginginkan (Aku Mampu)”.
Nah, dari deretan nama-nama calon wali kota Tangsel yang sudah daftar di salah satu partai maupun yang belum, coba cek dan bayangkan, mana di antara mereka yang masuk kategori “Aku Mampu” dan golongan “Kamu Mampu?’.
Pasti bingung menggambarkan klasifikasi di antara mereka. Selain karena kualitas sumber daya manusianya hampir sama-sama rata, sulit untuk melacak jejak rekam prestasi kehidupan dan karya kemasyarakatan yang pernah mereka buat di tanah Tangsel. Iya kan? Betul gak?
Ya, kalaupun ada itu karena terkait langsung dengan hajat hidup pribadi dan keluarga (bisnis) atau karena tugas pekerjaan (pegawai, profesional). Tapi, yang benar-benar sudah berkarya untuk Tangsel di luar ikatannya sebagai orang yang aktif dengan dunia bisnis, profesi, dan politik, belum ada. Kalau ada tolong sebutkan. (Mungkin ada).
Oleh karena itu, sederhana kita membacanya, bahwa mereka tampil menjadi calon wali kota dengan sebuah pandangan, pola pikir dan sikap mental “Aku Mampu”, bukan “Kamu Mampu.”
Merasa mampu karena punya uang, punya jabatan, punya karir, punya jaringan politik. Tapi bukan mampu karena telah berbuat sesuatu untuk Tangsel.
Jadi, apa yang akan terjadi di masa depan Tangsel dengan sikap mental para calon wali kota seperti itu?
Ada tiga kemungkinan. Pertama, mereka akan melakukan berbagai cara membeli suara rakyat supaya dipilih atau bernegoisasi dan membangun citra untuk menaikkan rating. Dan terakhir tidak menutup kemungkinan menurunkan rating lalu membanting harga.
Kemungkinan kedua, jika terpilih jadi walikota akan memikul beban berat dan kian sibuk menaiki panggung mempopulerkan diri untuk berkata, “Lihatlah Aku Mampu” kan?.
Ketiga, selalu ada kemungkinan lain yang tak terbayangkan oleh kemampuan nalar manusia. Munculnya “Satria Piningit” Tangsel yang tampil karena manusia, Tuhan, dan Alam berkata:
“Kamu Mampu” hingga ia tak perlu panggung dan populeritas artifisial lagi, karena hidup dengan segala ketulusan pengabdian adalah sudah menjadi panggung besar dan mewah baginya.
Oleh Budayawan yang juga Presiden Tangsel Club, Mr Ten