KedaiPena.Com – ‘Buzzer’ politik telah menjadi tren di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Sedianya, keberadaan ‘buzzer’ politik di sosial media dimulai pada masa pemilihan Gubernur DKI Jakarta tahun 2012.
Ya, keberadaan buzzer politik, yang memicu perang netizen dimulai dalam ajang Pilkada Gubernur DKI Jakarta pada tahun 2012 yang dimana saat itu kontestasi berlangsung sebanyak dua putaran.
Di putaran kedua yang dimana mempertemukan pasangan Jokowi-Ahok ‘head to head’ melawan pasangan Fauzi Bowo (Foke)-Nahrawi Ramli (Nara) tampak besar sekali pengaruh ‘buzzer’ medsos dalam menentukan percaturan politik ‘netizen’ di DKI.
Banyak akun pro Jokowi-Ahok yang meluncurkan kuliah twitter (kultwit) di platform asal AS, dan berhasil men-‘down grade’ pasangan Foke-Nara. Alhasil, Jokowi-Ahok berhasil menjadi pemimpin baru di Jakarta.
Keberlangsungan ‘buzzer’ politik ini sendiri semakin menjadi pada kontestasi Pilpres 2014. Kala itu Gubernur DKI Jakarta Jokowi yang memutuskan maju menjadi capres bersama Jusuf Kalla harus bersaing dengan pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.
Terlihat jelas ada perubahan polarisasi pada Pilpres 2014 kala itu. Jika Pilpres 2004 dan 2009 perang persepsi ditentukan oleh penetrasi media massa, maka pada Pilpres 2014 terjadi pergeseran besar. Perang persepsi akan ditentukan oleh penetrasi media sosial.
Targetnya adalah kelas menengah, yang mengakses semua jejaring sosial seperti ‘Facebook, Twitter, Instragram, Youtube, Blog’ dan berbagai forum ‘citizen jurnalism’. Pilpres 2014 telah memecah kekuatan kelas menengah secara tegas.
Selepas panasnya kontestasi di Pilpres 2014, keberadaan ‘buzzer’ politik semakin berlanjut. Tepatnya, di Pilkada DKI Jakarta tahun 2017, keberadaan ‘buzzer’ politik yang mencoba menggiring opini masyarakat semakin menjadi.
Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 menjadi klimaks keberadaan ‘buzzer’ politik. Bagaimana tidak, ‘buzzer’ politik telah membantu memecah belah sentimen agama dan ras masyarakat Indonesia.
Tak hanya itu, berkat postingan Buni Yani perihal pelecehan Ahok terhadap surat Al Maidah 51, menjadi sebuah komoditas yang tak henti-hentinya tayang di sosial media.
Postingan tersebut berhasil menimbulkan gelombang aksi besar-besaran yang dilakukan oleh umat Islam di Indonesia. Diberi nama aksi 411 dan 212, aksi yang dilakukan oleh masyarakat Islam tersebut berujung pemenjaraan Ahok.
Keberadaan pasukan ‘buzzer’ di dunia maya selama kontestasi politik di Indonesia menjadi perhatian media Inggris, ‘The Guardian’. Media ini pun lantas menurunkan tulisan menyoroti keberdaan tim ‘buzzer’ yang menjadi bagian dari politik yang sedang berkembang di Indonesia.
Dalam tulisannya, ‘The Guardian’ mewawancarai seorang anggota tim ‘buzzer’ dari mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok saat bertarung dalam Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu.
Sumber yang mengaku bernama Alex itu mengatakan ia adalah salah satu dari 20 orang dalam pasukan maya rahasia yang menyebarkan pesan dari akun media palsu untuk mendukung Ahok.
Selepas Pilkada DKI Jakarta, keberadaan ‘buzzer’ politik pun tak henti-hentinya bahkan kelompok ‘buzzer’ politik berhasil membuat kelompok masyarakat menjadi dua kubu yakni ‘cebong’ untuk pendukung Jokowi dan ‘kampret’ sebutan untuk kelompok pendukung oposisi.
‘Buzzer’ politik juga banyak memunculkan kabar-kabar ‘hoax’ yang mengganggu ketentraman masyarakat Indonesia. Hal itu pula yang membuat tokoh nasional Rizal Ramli khawatir penyelenggaraan Pilpres 2019 akan terganggu, bahkan rusak lantaran keberadaan ‘buzzer’ politik.
Menurut Rizal Ramli, ‘buzzer’ politik dapat merusak demokrasi dan menuntun Indonesia ke dalam krisis. Ia berharap pemilihan presiden atau pilpres 2019 bebas dari aksi saling caci di media sosial oleh para ‘buzzer’ politik.
Rizal mengakui ‘buzzer’ kian menjauhkan demokrasi dari substansinya, yang seharusnya para pasangan calon di dalam demokrasi menawarkan gagasan untuk membangun bangsa, bukan saling melemparkan tuduhan.
“Mudah-mudahan kedua pasangan calon ini menawarkan program dan strategi untuk menyelamatkan Indonesia, bukan hanya sekedar ‘cawe-cawe’ merebut kekuasaan. Biarkan rakyat mendengar musik yang merdu dan jelas, tanpa gangguan ‘nois’ (kebisingan),†ujar Rizal Ramli.
Jika mengacu pendapat di atas mungkinkah keberadaan ‘buzzer’ politik akan kembali merusak iklim demokrasi pada Pilpres 2019?
Akademisi Senior dan peneliti Cyber Security, Perbanas Institute, IGN Mantra mengatakan, ada empat ‘hashtag’ yang sudah mewakili kontestasi Pilpres 2019.
Empat tagar tersebut antara lain ialah, #Jokowi2Periode dan #2019TetapJokowi untuk pendukung Jokowi dan ‘hashtag’ #2019GantiPresiden dan #2019PrabowoSandi yang kontra dengan Jokowi.
Empat tagar tersebut, lanjut IGN Mantra, berasal dari ‘platform’ ‘Twitter’. Hal itu lantaran memang tanda tagar berasal dari aplikasi tersebut.
“Saat ini sudah mulai ‘buzzer’ robot bereaksi cepat terhadap dukungan masing-masing capres-cawapres dua kandidat,†ujar dia.
IGN Mantra pun memprediksi ke depan para akun robot-robot ‘buzzer’ politik tersebut akan bertambah banyak lantaran ‘tools’-nya dapat ditemui dengan mudah di internet.
“Cukup banyak ditemukan di internet untuk membuat akun palsu dan bayangan sebagai ‘buzzer’ robot tagar pendukung capres-cawapres dua kandidat,†ungkap dia.
Dengan kondisi demikian ‘buzzer’ politik di Pilpres 2019 akan kembali memberikan pengaruh kepada kemenangan para pasangan calon. Atau malah sebaliknya, mereka akan dirugikan karena adanya ‘buzzer’ politik.
Terpisah, Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) sebagai sebuah lembaga yang ditugaskan untuk menangkal informasi ‘hoax’ akibat keberadaan ‘buzzer’ politik oleh pemerintah, memastikan bahwa pihaknya terus berupaya untuk mengantisipasi tersebut.
Direktur Ekonomi Digital BSSN, Anton Setiyawan mengatakan, pihaknya terus berupaya untuk menangkal ‘hoax’ yang diciptakan oleh para ‘buzzer’ politik.
“Untuk ‘hoax’ kita tekan melalui edukasi. Untuk konten fungsinya ada di Kemkominfo,†ujar dia saat berbincang dengan KedaiPena.Com, di Jakarta, ditulis Selasa (28/8/2018).
Anton mengungkapkan, edukasi tersebut dilakukan melalui sebuah seminar yang disosialisasikan kepada masyarakat di seluruh penjuru wilayah Indonesia. Program tersebut diberi nama Literasi Keamanan Siber, yang mulai aktif tahun ini dan ditarget akan lebih masif lagi di tahun-tahun mendatang.
“Iya sudah rutin, mudah-mudahan efektif untuk masyarakat bisa membedakan berita yang benar dan ‘hoax’,†imbuh Anton.
Anton pun meyakini jika berita ‘hoax’ sudah tidak mempan kepada masyarakat, maka keberadaan ‘buzzer’ politik tidak memiliki berpengaruh. ‘Buzzer’ bisa tereduksi dengan sendirinya,†kata Anton.
Sementara itu, Ketua Komisi Satu DPR RI Abdul Kharis Alamsyari mengaku bahwa pihaknya senantiasa menyampaikan kepada masyarakat agar internet dan teknologi informasi beserta semua turunannya dapat dipakai untuk kegiatan yang positif.
Demi tercipta situasi kondusif, lanjut Abdul Kharis, pemerintah sebagai penyelenggara negara juga harus terus menyosialisasikan Undang-undang ITE kepada seluruh masyarakat Indonesia.
“Ini harus dilakukan agar tercipta situasi kondusif, sehingga bangsa Indonesia dapat membangun dengan semaksimal mungkin,†tutur Abdul Kharis saat dihubungi oleh KedaiPena.Com.
Namun demikian saat disinggung soal keberadaan ‘buzzer’ politik sendiri, Abdul Kharis menilai, bahwa sebenarnya keberadaan ‘buzzer’ politik tidaklah terlalu mengganggu.
Menurut Abdul Kharis keberadaan ‘buzzer’ politik merupakan sesuatu hal yang wajar, asal tidak saling serang dan melakukan ‘black campaign’.
“Jika yang disampaikan adalah program dan apa yang akan dilakukan sehingga masyarakat luas dapat mengerti kan bagus,†imbuh Abdul Kharis.
Laporan: Muhammad Hafidh