KedaiPena.Com – Kehadiran para buzzer di tengah pandemi Corona atau Covid-19 di Indonesia lagi-lagi kembali jadi sorotan. Tindakan para buzzer dinilai oleh berbagai pihak telah meresahkan.
Akademisi Universitas Nasional (UNAS) TB Massa Djafar mengakui, kehadiran para buzzer akan mengancam budaya demokrasi di Indonesia.
Pasalnya, kehadiran para buzzer cenderung menghalalkan segala cara sebagai potret hegomoni kekuasaan atau perilaku otoriter.
“Siapa yang kuat dia akan menjadi hegemoni kekuasaan, kekuasaan absolut, kekuasaan otoriter. Pengguna buzzer sebuah perilaku kuasa, yang tidak mau tunduk pada prinsip-prinsip demokrasi, norma hukum, nilai edukasi, nilai moral dan etika, tanggung jawab dan keadaban,” kata Massa Djafar sapaannya kepada wartawan, Sabtu, (6/6/2020).
Massa Djafar melanjutkan, bahwa pada akhirnya kehadiran para buzzer mirip dengan propaganda yang dilakukan oleh paham facisme, sosialisme komunisme, liberalisme-kapitalisme.
“Menghalalkan dengan segala cara. Kehadiran buzzer menggantikan peran komunikator atau media. Buzzer tidak diketahui identitasnya, ia seperti siluman. Ia jadi alat propaganda, alat kekuasaan. Bekerja untuk kepentingan majikannya. alat kekuasaan karena itu, cara-cara kerja dia tidak mengikuti cara media konvensional dalam membentuk publik opini. Buzzer tidak bisa dikontrol langsung oleh publik hanya pemerintah atau badan intelijen yang bisa melakukan kontrol,” ungkap dia.
Tindakan yang dilakukan para buzzer sendiri, lanjut Massa Djafar, juga bukan pada kepentingan publik atau pada misi pembangunan integritas bangsa.
“Cenderung menghalalkan segala cara. Menciptkan opini palsu, meyebarkan hoax, teror masyarakat. Membangun budaya kuasa, yang menang yang berkuasa yang kalah jadi debu,” ungkap dia.
Meski demikian, Massa Djafar mengakui, kehadiran buzzer merupakan bagian dari perkembangan demokrasi yang muncul dari suasana kebebasan kepentingan diri dan kelompok menggunakan teknologi informasi canggih.
“Menjalankan kegiatan komunikasi dan propaganda politik, membangun atau penggiringan opini palsu, menebarkan hoax, tujuan ingin meraih serta mempertahankan kekuasan dan menghancurkan lawan politik termasuk penggiringan publik opini untuk menjustifikasi tindakan politik,” tegas Massa Djafar.
Hal tersebut, lanjut Massa Djafar,
juga sangat terkait dengan sistem politik yang didominasi oleh struktur kekuasaan oligarki. Model kekusaan sangat elitis atau mereka ini kelompok minoritas.
“Oligarki adalah pemilik kekuasaan dan modal, kapital. Jika struktur politik ini tidak berubah, maka sulit diharapkan ada perubahan, atau tumbuhnya demokrasi secara sehat dan beradab,” ungkap Massa Djafar.
Massa Djafar melanjutkan, semestinya dalam sistem komunikasi politik, peran media pemerintah tetap menjadi kunci untuk mengimbangi media non pemerintah yang membawa misi negara.
“Tapi kenyataannya, media pemerintah atau negara praktis tak memainkan peran signifikan. Tidak mejadi rujukan dalam misi pembentukan national character building dan nasional interest dalam pembinaan negara bangsa. Termasuk di dalamnya proses pendewasaan masyarakat, mendidik kesadaran berbangsa dan bernegara dikalangan generasi muda,” papar Massa Djafar.
Diketahui, baru-baru ini Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (LBHI) menyoroti kehadiran buzzer dari para pendukung Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Asfinawati meminta, agar Presiden Joko Widodo dapat menertibkan buzzer dan para pendukungnya.
Menurutnya, presiden bisa menghambat apa yang dilakukan buzzer, namun sebaliknya, sinyal yang menguat justru pemerintah seolah merestui.
“Ada buzzer yang biasa saja, tapi ada yang sangat keterlaluan, ada pernyataan yang meluluh lantakan demokrasi kita. Yang gitu harus dikasih tahu dong, kan tidak mungkin kalau buzzer atau influencer bergerak apabila dihambat,” kata Asfinawati dalam diskusi daring beberapa waktu lalu.
Laporan: Muhamad Lutfi