KedaiPena.Com – FIAN Indonesia mengadakan diskusi publik yang bertajuk, “Memantau Hak atas Pangan dan Gizi dalam Makan Bergizi Gratis: Pembelajaran dari Brasil dan India dalam Program Makan Sekolah,” bersama dengan Mariana Santarelli (FIAN Brasil), Dipa Sinha (Right to Food Campaign-India), beberapa waktu lalu.
Secara garis besar, diskusi ini membahas empat pembelajaran berharga dari School Meal Program di Brasil dan Mid Day Meal di India.
Pertama, harus ada perencanaan yang matang dan keterlibatan publik dalam seluruh proses implementasi program.
Kedua, pangan lokal harus menjadi objek utama untuk memenuhi kebutuhan implementasi program.
Lebih lanjut, dengan mengedepankan 3 pertimbangan, yakni: (1) budaya konsumsi subjek program, (2) alokasi dana untuk kebutuhan distribusi bahan pangan, dan (3) inklusivitas program untuk produsen pangan skala kecil.
Ketiga, pentingnya proses desentralisasi, mulai dari tahap perencanaan sampai dengan implementasi program.
Terakhir, waspada terhadap jerat korporasi skala besar. Hal ini menjadi penting, karena keterlibatan korporasi dalam program dapat menurunkan kualitas mutu makanan.
Pasalnya, sebagian besar produk yang dihasilkan oleh korporasi adalah makanan ultra proses.
Diskusi ini terdiri atas empat (4) sesi. Di sesi pertama, pemantik yakni Mufida (Peneliti FIAN Indonesia) memberikan gambaran rancangan Program Makan Bergizi Gratis.
Mufida menjelaskan, dalam Peraturan Presiden No. 83 Tahun 2024 tentang Badan Gizi Nasional, belum ada arah desentralisasi program.
Hal tersebut dilihat berdasar struktur yang dijelaskan dan Perpres. Badan Gizi Nasional terdiri atas: (1) Dewan Pengarah yang didukung secara teknis dan administratif oleh Sekretariat Dewan Pengarah.
Sekretariat tersebut merupakan bagian dari unit organisasi Sekretariat Utama dan (2) Pelaksana, yang terdiri atas Kepala; Wakil Kepala; Sekretariat Utama; Deputi Bidang Sistem dan Tata Kelola; Deputi Bidang Penyediaan dan Penyaluran; Deputi Bidang Promosi dan Kerja Sama; Deputi Bidang Pemantauan dan Pengawasan; dan Inspektorat Utama.
Tidak terdapat struktur daerah, yang tujuannya memberikan otonomi kepada daerah implementasi program.
Di sesi kedua, Ahmad Arif, Jurnalis Kompas memaparkan bahwa masalah gizi anak Indonesia tidak dapat diselesaikan hanya dengan Program Pemberian Makan di Sekolah.
Sebab, masalah gizi di negara ini bertaut dengan persoalan ekonomi, politik, dan bahkan lingkungan.
Fenomena obesitas misalnya, di tahun 2018: 1 dari 5 anak Indonesia menderita obesitas. Fenomena ini dipengaruhi oleh maraknya makanan instan, minuman ber-pemanis, longgarnya aturan cukai, serta aturan pelabelan dan iklan yang tidak ketat.
Di sesi ketiga, Mariana Santarelli, FIAN Brasil menjelaskan bahwa Programa Nacional de Alimentação Escolar (PNAE/School Meal Program) di Brasil adalah perjalanan panjang perjuangan pemenuhan hak atas pangan dan gizi.
Mariana menegaskan, butuh 60 tahun untuk Brasil dapat menemukan metode implementasi School Meal Program, sehingga hari ini dapat berjalan dengan baik di 5.570 negara bagian, dan 150.000 sekolah, untuk 40.000.000 siswa/hari, dengan 50.000.000 porsi makanan/hari.
Lebih lanjut, School Meal Program di Brasil turut melibatkan partisipasi 80.000 anggota dewan dan 8.000 ahli gizi—serta membentuk School Feeding Watch, sebuah kolaborasi gerakan jaringan masyarakat sipil untuk mempertegas dialog dengan pelajar dan keluarga, petani lokal, dan aktor lainnya mengenai pelaksanaan School Meal Program ini.
Di sesi keempat, Dipa Sinha, Right to Food Campaign-India memaparkan bahwa implementasi Mid Day Meal Program di India sangat bergantung pada kondisi infrastruktur yang memadai, seperti dapur, peralatan memasak dan menyimpan makanan.
Dalam pemaparannya, Dipa menekankan dua hal, pertama, pentingnya peran juru masak dan manajemen program untuk menentukan menu makanan non-alergen termasuk telur, buah-buahan dan susu guna menghindari kasus alergi dan keracunan massal.
Kedua, adanya sistem yang tepat dalam praktik-praktik pengadaan, pemantauan dan pengawasan program, partisipasi masyarakat, peningkatan kandungan gizi makanan, dan program Kesehatan Sekolah.
Sebagai penutup, Ahmad Arif mengajak kita semua untuk memberi perhatian secara khusus pada tingkat kesejahteraan hidup keluarga petani dan nelayan.
Sebab sampai hari ini, mereka masih dibelenggu dengan persoalan gizi karena kemiskinan struktural dan literasi gizi yang kurang memadai. Padahal, petani dan nelayan adalah produsen pangan bangsa ini.
Diskusi ini adalah ruang untuk memahami titik kritis program makan bergizi gratis dan medium untuk mengkonsolidasikan berbagai kekhawatiran terhadap pemenuhan hak atas pangan dan gizi masyarakat Indonesia.
Harapannya, kelompok masyarakat sipil dapat memberikan intervensi terhadap program tersebut dengan tujuan perwujudan hak atas pangan dan gizi bagi semua rakyat Indonesia.
Laporan: Muhammad Rafik