KedaiPena.Com – Siapa yang tidak mengenal bakso atau jamu gendong dari Wonogiri. Ya, berdagang bakso dan jamu gendong adalah pekerjaan mayoritas para perantau dari Wonogiri yang mengadu nasib di kota-kota besar di Indonesia.
Sejak tahun 70-an para penduduk Wonogiri sudah mulai mengadu nasib di kota-kota besar Indonesia seperti Jakarta, Bandung, Medan dan banyak kota lainnya. Mereka terpaksa merantau karena tuntutan ekonomi yang tidak menjanjikan jika bertahan di ‘Kota Gaplek’.
Seiring bertambahnya penduduk yang merantau, para pengusaha moda transportasi umum seperti bus di Wonogiri yang biasa disebut bus pribumi semakin menanjak. Terbukti dari tahun 80-an hingga akhir 90-an, jumlah bus yang mengaspal di jalan pantai utara alias pantura bisa dikatakan didominasi perusahaan otobus (PO) dari Wonogiri.
Sebut saja Daya Palapa, Ismo, Tunggal Daya, Timbul Jaya, Purwo Widodo dan lain sebagainya. Kejayaan bus-bus pribumi ini berjalan pada jalurnya masing. Karena setiap perusahaan otobus memiliki pangsa pasarnya masing-masing. Meskipun jumlah armada banyak, tetapi tidak saling berebutan dalam mencari penumpang.
Dalam hal pelayanan, bisa dibilang hanya seadanya saja, dengan seat kursi penumpang 2-2 maupun 2-3 tidak menjadi masalah. Dapur pacu yang digunakan pun masih menggunakan armada bus adalah mesin depan seperti Hino AK dengan suara bising mesin, suspensi dan berisik pada body bus.
Kejayaan bus pribumi mulai menurun ketika terjadi tragedi 98. Ketika para pedagang yang merantau ke kota besar menjadi takut akan amukan masa yang membabi-buta. Belum lagi dampak ekonomi dari krisis moneter yang menjadikan daya beli masyarakat di kota besar juga menurun. Bus pribumi satu per satu mulai dikurangi jumlah armada yang menyusuri aspal pantura.
Saat ini ketika perekonomian di Indonesa mulai membaik, tapi tidak dengan bus pribumi yang turut membaik, justru sebaliknya bus pribumi semakin sedikit keberadaannya. Faktor yang menengarai, persaingan perusahaan otobus dari luar Wonogiri. Mereka dengan bebas keluar masuk tanpa kontrol mengambil para penumpang di terminal-terminal Wonogiri.
Perwakilan DPC Organda Wonogiri, Edy Poerwanto, sebenarnya telah melakukan pertemuan dengan para pemilik perusahaan otobus pribumi pada Februari lalu untuk mengatasi persaingan yang tanpa kontrol ini.
Namun pemerintah daerah belum mengambil kebijakan atas permasalahan yang dialami pemilik perusahaan otobus pribumi yang hampir gulung tikar ini.
Faktor armada yang dinilai ketinggalan dari perusahaan otobus dari luar juga menjadi faktor yang cukup dijadikan alasan. Sebab, para penumpang kini semakin pintar dalam memilih armada yang nyaman dan pelayanan yang maksimal.
Sementara itu, Agus, sopir bus Tunggal Daya dan kini beralih menjadi sopir bus Pahala Kencana mengatakan bus pribumi itu mati karena ketinggalan model dari bus yang dari luar. Penggunaan armada memang menjadi faktor penting penumpang memilih armda yang akan mengantarkan sampai pada tujuan.
“Dulu bus yang bagus itu bus yang tidak mogok di jalan, capek adalah resiko. Tapi kini pilihan bus bermacam-macam dari bus ac atau non ac, seat tidak ada yang menggunakan 2-3 yang penuh sesak tetapi 2-2 ataupun 2-1 pada klas eksekutifnya. Penggunaa mesin pun kini lebih bervariatif mulai mesin Mercedes Benz, Hino, Scania, atau pun Volvo menjadi perhitungan tersendiri bagi para penumpang,” jelas dia.
Para pemilik PO dari luar daerah ini seakan saling berlomba dalam melengkapi jenis armada yang dimilikinya, mulai penggunaan shasis Scania K340IB, K360IB, hingga yang terbaru K410IB, Mercedes Benz pun tidak mau kalah setelah seri 1830, 1836 kini MB mengeluarkan shasis seri 2542 dengan triple axle-nya.
Dari sekian alasan untuk tetap eksis demi menjaga kualitas perusahaan otobus, hanya beberapa saja yang mampu bertahan di sengitnya persaingan yang ketat di Wonogiri. Jika tidak pasti ditinggalkan para pelanggan dan beralih ke operator bus yang lebih baik.
Di antara legenda pantura bus pribumi Wonogiri sudah tidak dapat ditemui adalah bus Daya Palapa yang telah gulung tikar. Sementara bus Purwo Widodo, Tunggal Daya dan Timbul Jaya masih tetap beroperasi meskipun jumlah armada yang berjalan tidak lebih dari lima bus setiap harinya.
Melihat situasi ini, sudah seharusnya pihak-pihak terkait melihat dengan bijak agar bus pribumi tetap berjalan. Karena di balik perusahaan otobus ini pasti menghidupi ratusan bahkan ribuan masyarakat yang mengantungkan hidupnya dari roda-roda bus pribumi Wonogiri.
Laporan: Aris Sugiyanto