KedaiPena.com – Hasil hitung cepat yang dilaksanakan Lingkaran Survey Indonesia (LSI) dan Lembaga Survei Kebijakan Publik (LSKP) untuk Pilkada Kabupaten Kutai Kartanegara menempatkan pasangan Rita Widyasari-Edi Damansyah unggul telak atas pasangan lainnya.
Lembaga survey ini mencatat, Rita Widyasari meraih 88,76 persen. Sementara tiga kandidat lainnya tidak ada yang mampu meraih suara hingga 5 persen. Sebenarnya, bagaimana sosok Rita sehingga bisa menang mutlak di pilkada?
Berikut wawancara ekslusif Jurnalis KedaiPena.Com, Yules Verne Karamoy dengan Rita di Jakarta beberapa waktu lalu.
Anda adalah salah seorang kepala daerah muda di Indonesia. Lalu apa makna sumpah pemuda untuk Anda?
Sumpah Pemuda adalah momen yang luar biasa. Ada tiga kata yang luar biasa yang dihasilkan dalam sumpah ini. Nah, saya melihat, sekarang ini masih ada kemunduran terhadap Sumpah Pemuda.
Sumpah Pemuda mengikrarkan para pemuda untuk menghargai bangsa Indonesia, tanah air Indonesia dan bahasa Indonesia. Itu semua adalah bagian dari nasionalisme kita. Tapi kan sekarang yang terjadi, masih banyak yang mengedepankan kesukuan.
Ada yang mengaku orang Jawa, orang Kutai, orang manalah dengan kelompok-kelompok mereka. Jadi mereka lebih mengedepankan paguyuban-paguyubannya.
Padahal, kalau kita mengaku orang Indonesia, harusnya kita lebih bersatu. Bagi saya, Sumpah Pemuda itu dahsyat sekali. Sebuah kalimat yang biasa, tapi terlihat sangat paripurna. Sebab, Sumpah Pemuda menyatukan kepulauan kita yang berbeda-beda, dengan tabiat kita, keinginan kita yang berbeda-beda pula.
Sumpah ini disampaikan para pemuda yang sebenarnya tipikal pemuda emosional dan menggebu-gebu. Sumpah Pemuda adalah momentum dan makna untuk mempersatukan nasionalisme Indonesia.
Dalam kondisi saat ini, apa yang harus pemuda lakukan?
Menurut saya, harus punya peran yang sangat penting bagi bangsa. Pemuda yang ingin membangun bangsa, akan memperindah bangsa. Kini banyak kepala daerah muda, menteri muda, presiden kita juga gak tua-tua amat. Saat reformasi pun demikian, pemuda punya peran yang krusial.
Pemuda adalah ujung tombak bagi pembangunan di Indonesia. Kalau pemuda bersatu dan bisa memberikan pemikiran yang monumental dan menyatukan, saya kira Indonesia akan damai.
Dalam sudut pandang orang muda, bagaimana anda menilai demokrasi kita yang sedang berjalan?
Alhamdulilah demokrasi kita berjalan setapak demi setapak. Kata orang tidak mungkin demokrasi kita lahir langsung dewasa. Demokrasi kita masih harus belajar, demokrasi kita seperti anak bayi baru lahir yang belajar berjalan, bicara dan macam-macam. Baru kemudian dewasa.
Demokrasi Indonesia sedang belajar dengan berbagai masalahnya. Contoh hambatannya adalah, strata pendidikannya manusia Indonesia yang berbeda-beda. Beda dengan, misalkan AS yang pendidikannya rata-rata mumpuni. Kalau kita ada yang tidak sekolah, tidak sejahtera, yang miskin pun masih banyak. Jadi konfliknya di mana-mana.
Demokrasi kita ini masih dipandang perlu pembelajaran yang lebih dalam lagi. Kita mencari format yang lebih pas. Seperti handphone, mencari IOS (sofware) yang paling pas digunakan dan terbaik. Semua berkembang terus, tapi jangan kita mematikan demokrasi. Perbedaan pendapat wajar dalam demokrasi.
Bagaimana pendapat Anda soal sikap DPR yang mengesahkan Pilkada via DPRD?
Saya ini kepala daerah yang mengalami langsung (proses pilkada langsung). Saya melihat konflik antar pendukung itu masih ada dan tersisa. Misalnya PNS, pendukung Rita, Awang Farouk dan lainnya masih ada. Jadi ketika Saya melantik si A, si B atau yang lain, ada yang bicara, ‘Ah bunda itu kan bukan pendukung bunda’.
Nah saya langsung bertanya, ‘Kamu tahu dari mana soal itu. Kamu lihat dia di TPS nyoblos siapa’. Lalu si orang itu pun bilang, ‘Saya pernah lihat si itu pakai kaos calon yang lain.’
Saya kembali jawab, ‘Sudahlah, ini kan bukan masa kampanye lagi’. Dia langsung tidak terima, ‘Tidak bisa bunda, kita yang mati-matian di bawah’.
Bukan hanya itu, konflik pun terjadi di kecamatan. Ada dua kecamatan yang saya kalah saat pilkada Kukar, beberapa waktu lalu. Keduanya adalah Kecamatan Sembojan dan Muara Jawa. Lalu kasih saya porsi pembangunan setelah tahun ketiga, karena dua daerah itu langganan banjir. Saya kasih Rp200 miliar, lalu marah kecamatan yang lain.
“Bunda itu kan kecamatan yang kalah. Kok dikasih pembangunan,” katanya mengulangi pernyataan pihak ketiga itu.
Lalu?
Lah saya fikir, kalau tidak dikasih pembangunan, maka akan tenggelam itu dua kecamatan itu. Lalu ada yang lain lagi karena ada timses A yang kemudian dengan saya dekat. Nah ini bikin pendukung saya marah. Karena si timses dekat dengan saya.
Itu adalah di antara contoh konflik akibat pilkada langsung yang saya alami langsung. Tetapi, meski demikian, positifnya saya jadi dekat dengan rakyat. Ada 55 persen, mayoritas rakyat yang memilih saya. Ini kebanggaannnya buat saya.
Tapi, kalau pilkada dipilih di DPRD, maka konfliknya, mau jotos-jotosan, atau seperti apapun, konfliknya selesai di DPRD. Tidak ada lagi konflik di kecamatan, konflik di timses, konflik di pendukung.
Nah, kita sekarang sedang mencari format demokrasi. Mungkin dengan pilkada via DPRD akan mempermudah mencari calon pemimpin. Biaya politik akan kurang, mengurangi konflik juga. Tapi dengan catatan, calon pemimpin itu, atau yang sudah jadi pemimpin harus dekat dengan rakyat.
Jangan sampai mentang-mentang dipilih oleh DPRD, tidak mau turun lagi ke bawah, tidak mau blusukan. Nah itu kan sebenarnya yang ditakuti rakyat. Dengan Pilkada Via DPRD, tidak ada lagi tuh bagi-bagi baju kaos, spanduk atau money politics lain. Lebih baik kan dibagikan langsung dalam bentuk program pembangunan dan sebagainya yang lebih bermanfaat. Jadi demokrasi kita tidak lagi mahal dan menutup peluang terjadi korupsi.
Menurut saya seperti itu. Karena itu yang saya alami. Pilkada langsung lebih panjang konfliknya, ya karena yang saya bilang di awal, rakyat kita belum dewasa semua. Kecuali rakyat kita dewasa semua.
Di tambah lagi, dengan tetap membiarkan money politic, maka kita akan membiarkan rakyat kita nakal. Tapi kalau Pilakda Via DPRD, di tempat saya itu ada 45 orang anggota DPRD.
Maka akan lebih mudah pemberantasan korupsinya. Suruh saja KPK periksa 45 orang anggota itu. Awasi, sadap mereka, intip dengan CCTV. DPRD itu kan wakil rakyat, beri mereka kesempatan untuk bekerja. Jadi saya setuju pilkada via DPRD.
Ada pendapat kalau Pilkada Via DPRD, maka kepala daerah akan menghamba ke DPR, karena nyawa mereka tergantung DPRD?
Itu diperlukan keahlian kepala daerah dalam berpolitik. Kita harus membangun komitmen, bahwa ia bekerja untuk kemaslahatan bersama. Bukan jadi kepala daerah lalu good bye. Kita harus sama-sama membangun bersama-sama. Bangun komunikasi yang baik. Kita menghamba DPR? kita kan punya kekuatan partai, mereka juga punya. Jadi mari sama-sama kita dewasa.
Kita harus membuat porsi pembangungan yang sesuai dengan visi misi kita. Tapi tentu saja kita pun harus mengakomodir kepentingan kelompok lain. Kalau tidak, komunikasi politik yang biasa tersendat. Bangun komunikasi dan redam konflik.
Misal kalau ada anggota DPRD yang ingin membangun sesuatu, harus konsultasi dengan Bapedda, kalau di nasional Bapenas. Biasanya kan pas reses anggota DPRD ambil aspirasi masyarakat. Tapi kemudian pas sampai di eksekutif, ditolak sama Bapedda karena tidak ada dalam RPJMD. Nah, seharusnya, kalau DPRD mau turun ya baca dulu visi kita. Kompaklah DPRD dengan Bapedda kita.
Selama ini DPRD kan punya gaya sendiri. Turun ke lapangan, anggota DPRD tidak koordinasi dengan Bapedda. Kita kan bekas Ketua DPRD Kukar tahun 2009, jadi kita tahu bagaimana cara mainnya.
Intinya, yang penting komunikasi antara DPRD dan Pemerintah. Kan Trias Politica itu eksekutif, legislatif dan yudikatif. Ketiganya pun harus kompak.
(Bersambung)