ISU Islam militan dan radikal distempelkan ke kubu Anies Baswedan (AB) dalam Pilgub DKI putaran kedua ini. Baik dalam bentuk video kampanye Ahok yang baru-baru ini viral, di mana ummat Islam itu diidentikkan dengan kekerasan dan anti toleransi. Maupun, munculnya gerakan sebagian ummat Islam yang mengaku moderat, yang memberikan kesan berseberangan dengan Islam radikal dan transnasional di balik AB group.
Kelompok yang mengaku moderat ini memberikan dukungan kepada Ahok dengan dalih bahwa mendukung Ahok, sang penista Islam, lebih banyak manfaatnya ketimbang mendukung AB yang ada unsur Islam “impor” tersebut. Ditambahkan pula bahwa sebagian Islam “impor” ini merupakan ideologi transnasional yang bertentangan dengan Pancasila.
Dalam membahas isu ini kita perlu melihat secara jernih berdasarkan pendekatan historis dan sosiologis untuk melihat keabsahan logik dari isu tersebut. Pertama, apakah Islam itu bersifat lokal atau transnasional?
Kedua, Apakah Pancasila itu bersifat lokal atau transnasional? Ketiga, apakah Islam itu, baik jika transnasional maupun bersifat lokal, bertentangan dengan Pancasila? Keempat, apakah dinamika Islam dalam politik kita bersifat historis atau a historis?
Saya akan menjawab hal ini secara mix saja. Pertama, pada tahun 1926, pendiri Pancasila versi rezim Jokowi sekaligus bapak bangsa, Bung Karno, menulis tentang Marxisme, Islamisme dan Nasionalisme. Ini adalah tulisan master piece pemimpin besar revolusi kita.
Dalam tulisan tersebut Bung Karno sejak awal menekankan bahwa Islam itu bersifat transnasional, bukan lokal. Namun, Bung Karno meyakini bahwa Islam itu berguna untuk dua hal, pertama, mengusir penjajah  Belanda. Dan kedua, Islam itu akan menjadi lokal di bumi Indonesia sebagai sumber peradaban.
Tulisan bung Karno itu sudah berusia 90-an tahun. Ketika itu transnasional belum masuk pada frame global atau globalisasi. Lalu bagaimana situasinya dalam keniscayaan globalisasi saat ini? Ini akan kita bahas nanti.
Kedua, tentu saja kita harus melihat apakah Islam ini bertentangan dengan Pancasila? Tentu saja kita melihat sebaliknya. Islam adalah sumber nilai atau salah satunya bagi resultante nilai-nilai Pancasila itu. Resultante bukan bersifat skalar yang tanpa arah, melainkan bersifat vektoral yang memberi arah.
Sumber nilai dari sisi Islam ini apakah bersifat lokal? Tentu saja bersifat transnasional, karena agama-agama samawi, seperti juga Kristen dan Katholik, bersifat transnasional.
Ketiga, Pancasila dalam pikiran bung Karno bukanlah ideologi lokal. Selain sila-silanya bersifat universal, Bung Karno sendiri memaksudkan sila Kemanusian sebagai Internasionalisme. Mengapa Bung Karno sudah berpikir global jauh sebelum Indonesia Merdeka? Karena Bung Karno menyadari bahwa bangsa ini adalah bangsa besar.
Selain itu, persoalan atau eksistensi suatu bangsa hanyalah bisa difahami dalam kerangka beyond state. Yang terakhir ini terbukti bung Karno mengekspor revolusinya dan tentu saja dengan ideologi (Pancasila) kepada negara negara new emerging force.
Keempat, soal dinamika politik Islam bukanlah hal baru di Indonesia. Dikotomi maupun multi front antara kekuatan kekuatan Islam selalu berlangsung sebagai akibat terjadinya revitalisasi pemahaman atas Islam sesuai dengan konteks ruang dan waktu. Kontestasi eksistensi mazhab dan pilihan politik menjadi dinamis seiring perubahan yang terjadi baik pada skala lokal maupun global.
Globalisasi dan Transnasional Islam
Transnasional Islam di masa lalu vs masa kini (masa global) tentu sangat berbeda. Transnasional Islam dahulu adalah sebuah ideologi perjuangan melawan penjajahan dan kapitalisme/markentalisme yang dikembangkan penjajah. Sebagaimana komunisme yang transnasional, di masa itu, Islam memberikan sebuah konsep dan aksi alternatif untuk mengatur kehidupan bangsa bangsa yang dijajah terbebas dari penjajahan.
Saat ini, ketika globalisasi terjadi, khususnya setelah revolusi media sosial, Islam menjadi identitas, yang sebagiannya dapat bersifat ideologi, namun sebagiannya merupakan peristiwa budaya.
Sebagai ideologi, dia tetap melakukan kontestasi mengimbangi neoliberalisme dan kapitalisme barat, yang saat ini mengontrol dunia alias rule the world secara sempurna.
Sebagai budaya, identitas ini merupakan aktualisasi diri atau kelompok. Hal ini menjadi sifat atau karakter dari globalisasi terkini, yakni setiap manusia ingin dilihat, ingin didengar. Dan setiap manusia ingin menjadi messenger (pembawa pesan/berita).
Sifat global dari globalisasi ini akan menempatkan kelompok manusia sebagai bagian masyarakat global. Jika merujuk pada Ritzer dan Giddens, bisa menjadi lokal dalam global (glocalized). Namun, berpikir bahwa ada ideologi atau keyakinan atau konsep berkehidupan yang dibatasi teritorial, merupakan konsep usang dalam pandangan globalist.
Islam Anis Baswedan
Menganggap adanya hantu dibelakang AB karena adanya dukungan Islam transnasional merupakan kekeliruan besar. Pertama, dalam konteks pribadi AB, yang merupakan anak sekolah se-alumni dengan Hillary Clinton dan Mark Zuckenburg, pendiri facebook, di Maryland University, justru ke Islaman AB sudah teruji dalam masyarakat pluralistik (multiculturalist society).
Jejak ini menunjukkan agenda agenda radikalisme pada diri AB tidak mungkin terjadi. Kedua, adanya dukungan Habib Rizieq, HTI, dan bahkan diusung PKS sesungguhnya telah kita bahas diatas bahwa hal itu merupakan dukungan kelompok historis pada bangsa kita. Jika kita ingin berseberangan dengan AB dan pendukungnya, bukan berarti kita harus mendukung penista Agama yang sesat. Ada opsi yang lebih manusiawi, seperti yang dilakukan SBY, netral.
Persoalan bangsa ini akan semakin tidak menentu jika kita memaknai secara salah apa yang seharusnya kita pikirkan sebagai sebuah kebenaran. Kebenaran yang harus kita tunjukkan adalah bahwa keberadaan Anies sebagai seorang muslim dan pendukung-pendukung muslim dibelakangnya bukanlah suatu kejahatan terhadap Pancasila.
Sebagai mana pemimpin besar revolusi kita, Bung Karno, mengajarkan pada kita bahwa memang Islam itu ajaran transnasional dan Islam itu penyumbang nilai-nilai pada Pancasila. Jika kita berpikir benar tentang kebenaran, maka kita harus menghilangkan prasangka dan buruk sangka atas Islamnya Anies Baswedan.
Oleh Dr. Syahganda Nainggolan, Direktur Sabang Merauke Circle