KedaiPena.Com – Langkah liberalisasi politik yang dinikmati sejak episode Presiden Habibie, Gusdur, Megawati, SBY, sampai Jokowi harus dievaluasi. Sebab, sistem politik Indonesia harus sesuai dengan perspektif ideologi bangsa, bukan dengan perspektif lain.
Demikian disampaikan sosiolog Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun kepada KedaiPena.Com, Jumat (17/2).
“Bahwa sistem politik liberalistik yang sekarang dipraktekkan, pada beberapa hal penting bertentangan dengan ideologi bangsa,” tegas dia.
Misalnya, dalam praktik politik lebih mengutamakan ‘one man one vote’ dibanding musyawarah mufakat yang berkualitas.
Direktur Puspol Indonesia mengatakan ini mengomentari pernyataan Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), KH Hasyim Muzadi bahwa MPR RI sebaiknya dikembalikan posisinya sebagai lembaga tertinggi negara dan GBHN perlu dihidupkan kembali.
Hal ini penting agar MPR RI dapat menjadi penengah jika terjadi persoalan kekurangharmonisan di antara lembaga-lembaga tinggi negara.
“Jadi, pandangan Wantimpres Hasyim Muzadi itu telat, sebab mereka senang selama 15 tahun lebih menikmati, termasuk Kiyai Hasyim Muzadi menikmati liberalisasi ikut pilpres. Tapi usul Kiyai Hasyim patut diapresiasi didiskusikan.
“Intinya ini soal membumikan Pancasila, terutama sila keempat. Kalau sila keempat dipraktekkan maka MPR itu representasi petmusyawaratan nasional dan GBHN adalah produk gagasan pembangunan yang terencana sebagai produk lembaga representasi permusyawaratan nasional,” sambung Ubed, sapaannya.
(Prw/Foto: Istimewa)