KedaiPena.Com – Hari Kunjung Perpustakaan yang dirayakan tiap 14 September sejak tahun 1995 di masa Orde Baru, diselenggarakan di perpustakaan wilayah Jakarta Barat pada Sabtu (14/9/2019).
Lebih seribu pengunjung pelbagai kalangan, dari usia PAUD, SD, SMP, SMA dan dewasa, sejak pagi terlihat antusias mendatangi lokasi yang juga menjadi kantor Suku Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Jakarta Barat (Sudin Pusip Jakbar).
Pelbagai kegiatan menarik yang dikemas dengan sederhana digelar, yakni mendongeng, mewarnai, nonton film bareng, literasi parenting, serta Bedah Buku dan Ulasan film Bumi Manusia.
Bedah Buku dan Ulasan film Bumi Manusia menjadi acara utama yang menyedot perhatian pengunjung. Sampai-sampai aula lantai dua Kantor Sudin Pusip Jakarta Barat dipenuhi sesak para peserta kalangan muda milenial dan generasi Z. bahkan ada yang rela duduk dilantai.
Bedah buku menghadirkan dua pembahas mantan Aktivis 98, yang menjadi pembaca dan penikmat karya-karya Pramudya Ananta Toer ketika karya-karyanya itu masih dilarang peredarannya di era 90-an. Yakni Direktur Eksekutif Center for Social, Political, Economic and Law Studies (CESPELS) yang juga pengamat Sosial Politik Nasional dan Dosen Universitas Negeri Jakarta, Ubedilah Badrun, dan Direktur Eksekutif Jaringan Anak Nasional (JARANAN) Nanang Djamaludin. Acara dipandu None Natasya dari Ikanobu Jakbar dan Indah Prastiwi dari Tali Jaranan.
Di hadapan para peserta, Nanang Djamaludin yang juga penggagas Klub Literasi Progresif (KLiP) menyarankan, jika ada yang belum sempat menonton film Bumi Manusia arahan Sutradara Hanung Bramantyo yang telah tayang di bioskop-bioskop sejak 15 Agustus 2019, sewajib-wajibnya terlebih dahulu membaca buku Bumi Manusia-nya Pram, yang merupakan bagian pertama dari apa yang disebut Pram sebagai kwartenarius, yang kemudian lebih dikenal sebagai Tetralogi Roman Karya Pulau Buru.
“Membaca kwartenarius Pram itu bagi generasi milenial dan generasi Z saat ini sebagai ‘kewajiban’. Sementara menonton Film Bumi Manusia Hanung itu ‘sunah’,” katanya mengistilahkan.
Hal itu, menurutnya, lantaran film Bumi Manusia-nya Hanung yang disebut mengadaptasi novel Bumi Manusia-nya Pram, pada hasil akhirnya cuma mampu menonjolkan aspek kisah percintaan Minke dan Annelies Mellema.
Sementara pesan-pesan pokok nan substansial yang terdapat dalam buku Bumi Manusia-nya Pram, seperti munculnya embrio paling awal dari kesadaran nasional kalangan bumi putera yang tercerahkan sebagai hasil pendidikan kolonial tidaklah mendapat tempat semestinya di dalam fim. Demikian juga penentangan tokoh protagonis terhadap feodalisme yang berurat-berakar kuat di masyarakat.
Lalu Nanang menceritakan bahwa Pram sejak tahun 1960-an mengaku telah berniat menulis apa yang disebut Pram sebagai “cyclus roman” tentang perjuangan nasional sejak periode kebangkitan nasional sampai revolusi 1945”. Bagi Pram, pentingnya “cyclus roman” itu dituliskan karena adanya kenyataan pengajaran di sekolah tidak mencukupi untuk membudayakan kecintaan pada sejarah pergerakan nasional untuk memperoleh kemerdekaan nasional.
Dan juga menurut Pram, tanpa kecintaan pada sejarah pergerakan nasional untuk memperoleh kemerdekaan nasional maka semua ucapan tentang patriotisme, kecintaan pada tanah air dan bangsa, baik itu melalui pembicaraan pidato, nyanyian ataupun deklamasi tinggal merupakan slogan tanpa isi, tidak edukatif, dan juga tidak jujur.
Sehingga dengan adanya “cyclus roman” itu nantinya akan membantu pembudayaan kecintaan pada sejarah pergerakan nasioanal. Berdasarkan tujuan itu lalu Pram melakukan penumpukan bahan-bahan yang sepenuhnya berasal dari pemberitaan atau pun tulisan dari setiap masa.
Untuk lebih melengkapi bahan-bahan bagi proyek besarnya itu, bahkan Pram di masa itu menyiarkan iklan kepada khalayak luas untuk menyumbangkan materi tulisan setidaknya di delapan surat kabar dan majalah.
Pram pun mengolah bahan-bahan itu. Seiring waktu, secara konsepsional “cyclus” itu bisa dikatakan telah diolah, dan secara tematik bisa disebut telah selesai. Namun terjadinya tragedi Tragedi 1965 telah membuat perpustakaan, dokumentasi, dan sumber-sumber autentik milik Pramoedya dihancurkan rezim Orde Baru cuma karena seniman Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat).
Sebagai tahanan yang diperlakukan keji tanpa proses pengadilan dan tak diijinkan menulis di Pulau Buru, Pram pun kehilangan kesempatan menggarap idenya membuat cyclus roman meski obsesinya tetap menyala.
Kesempatan baru datang ketika tahun 1973, Pangkopkamtib Jenderal Soedomo meninjau para tapol di Pulau Buru dan membolehkan para tapol menulis. Maka Pram pun menggunakan itu untuk mewujudkan ide sebelumnya, tanpa ditemani perpustakaan, dokumen, dan sumber-sumber otentik yang sebelumnya telah dihancurkan oleh rezim Orba.
Lalu lahirlah “cyclus yang ampat” atau kwartenarius, yakni “Bumi Manusia”, “Anak Semua Bangsa”, “Jejak Langkah”, dan “Rumah Kaca”, yang menjangkau masa 1898-1918.
Masa setelah itu tidak digarap Pram dalam tulisan-tulisannya, melainkan masa sebelum itu yang dikerjakannya. Yakni era renaisance kebudayaan Nusantara yang didominasi Hinduisme melauli roman “Arok Dedes”, masa jatuhnya Majapahit sebagai kekuasaan laut terbesar Nusantara lewat roman “Mata Pusaran”, masa hancurnya kekuasaan laut Nusantara ke tangan Bangsa Eropa dan dimulainya kolonialisme melalui roman “Arus Balik”, masa berdirinya kerajaan Mataram II melalui naskah drama berjudul “Mangir”.
“Menyimak tujuan ideal penggarapan ‘cyclus roman’ yang telah direncanakan lama oleh Pram, maka amat benderang bahwa film Bumi Manusia-nya Hanung jatuh menjadi lebih kuat pada penonjolan kisah percintaan Minke dan Annelies tentu saja jauh dari tujuan ideal yang dikehendaki Pram, meski di dalam promosi fimn itu dinyatakan mengadaptasi karya Pram,” jelas Nanang.
Sementara Ubedilah Badrun yang akrab disapa Kang Ubed berharap para generasi milenial dan generasi-generasi di bawahnya bisa menyerap dan mengaktualisasikan secara baik tradisi literasi yang kuat sebagaimana ditunjukkan tokoh-tokoh dalam novel Bumi Manusia.
“Minke dan banyak sahabat di sekelilingnya baik yang pribumi maupun dari kalangan Eropa, seperti Nyi Ontosoroh, Magda Peters, Jeans Marais, Herbert de la Croix dan kedua anak gadisnya Sarah dan Miriam merupakan para intelektual tercerahkan yang amat literat,” ungkap Ubed.
Jejaringan persabatan seperti itu, lanjutnya, membentuk dan menguatkan cara pandang Minke atas kondisi masyarakatnya saat itu yang harus diubah ke arah yang jauh lebih baik, dan terhadap kebusukan praktik kolonialisme.
Ubed menyebut bahwa karya-karya yang dihasilkan Pramoedya Ananta Toer menunjukkan bawah Pram merupakan penulis dengan tradisi membaca yang sangat kuat. Sebab sebuah karya besar kelas dunia sebagaimana karya-karya Pramoedya yang di banyak negara telah banyak diterjemahkan dan menjadi bahan pembelajaran di sekolah-sekolah, mustahil dihasilkan tanpa tradisi membaca dan tradisi riset yang kuat dari penulisnya.
“Para milenial yang hidup di era disruptif sekarang ini harus punya gairah membaca buku sebanyak-banyaknya. Sebab tantangan hari ini dan ke depan akan jauh lebih dasyat. Oleh karena itu lengkapi diri dengan ‘high thinking order skill’, kemampuan berpikir kritis dan solutif menghadapi aneka tantangan. Dan kemampuan itu hanya bisa muncul melalui budaya literasi yang tinggi, yang bisa menerbitkan aneka pandangan baru sebagai panduan solusi menghadapi tantangan,” Ubed menyelipkan.
Kepala Sudin Pusip Jakarta Barat Tri Wahyuning Diah merasa senang dengan animo masyarakat, khususnya masyarakat Jakarta Barat, yang dengan antusias ikut memperingati dan memeriahkan Hari Kunjung Perpustakaan 2019 di kantornya.
Sementara itu Siti Sarah, Kepala Seksi Perpustakaan Sudin Pusip Jakarta Barat mengucapkan apresiasi yang mendalam kepada semua pihak yang membantu berjalan baik dan meriahnya Hari Kunjung Perpustakaan tahu ini.
“Kepada semua pihak, para pengunjung perpustakaan atau pemustaka, pustakawan, aparat keamanan, para narasumber, keluarga besar Sudin Pusip Jakarta Barat, komunitas-komunitas yang terlibat, terlebih Jaringan Anak Nasional yang memberi masukan-masukan berharga bagi berjalan baiknya kegiatan ini, kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya,” ungkap Sarah.
Laporan: Muhammad Lutfi