Ditulis Oleh Pemerhati Pendidikan Alea Eka Putri
TERPILIHNYA Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia untuk ketiga kali pada tahun 1977, menimbulkan kegelisahan di kalangan mahasiswa zaman itu. Telah tumbuh kesadaran bahwa pemerintah bersifat otoriter. Sikap yang menghambat pikiran dan inovasi.
Selain itu, korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) sudah merajalela. Petinggi-petinggi negara memanfaatkan kekuasaannya untuk memperkaya kantong pribadi dan keluarganya.
Berbagai kampus di Indonesia bergejolak, mahasiswa mengadakan protes. Secara terang-terangan, mereka menyatakan mosi tidak percaya dan tidak menghendaki Soeharto kembali menjadi Presiden Republik Indonesia.
Demonstrasi-demonstrasi mahasiswa 1978 tercatat sebagai demonstrasi terbesar dalam sejarah 32 tahun Orde Baru, selain demonstrasi mahasiswa 1998.
Berbeda dengan Malari 74 yang hanya terjadi di Jakarta, demonstrasi mahasiswa 1978 bersifat nasional, diikuti ratusan ribu mahasiswa di berbagai kota, seperti Bandung, Jakarta, Yogyakarta, Medan, Palembang, Makassar dan kota-kota lain.
Imbasnya, beberapa kampus di Indonesia diduduki tentara pada masa itu. Diawali dengan didudukinya Institut Teknologi Bandung (ITB) dan ditangkapnya pimpinan-pimpinan mahasiswa.
Penangkapan itu menyebabkan ratusan pimpinan mahasiswa ditahan selama 2-4 minggu. Selanjutnya, puluhan pimpinan mahasiswa di Bandung, Jakarta, Yogyakarta, Medan, Palembang dan Makasar dipenjara selama 1-1,5 tahun.
Apakah kampus diduduki oleh tentara sekadar karena adanya protes mahasiswa yang bersifat masif dalam bentuk demonstrasi? Ternyata tidak!
Soeharto justru sangat marah karena adanya karya intelektual, sebuah tulisan. Beberapa mahasiswa menuliskan “Buku Putih Perjuangan Mahasiswa 1978” yang berisi pemikiran mahasiswa mengenai kondisi Indonesia saat itu. Mereka adalah Rizal Ramli, Irzadi Mirwan, Abdul Rachim, dan Joseph Manurung. Diterbitkan oleh Dewan Mahasiswa ITB yang saat itu diketuai oleh Heri Akhmadi.
Menurut Benedict Anderson, buku ini sangat penting karena merupakan kritik sistematis pertama mengenai kebijakan Orde Baru di Indonesia (Anderson & Ecklund, 1978).
Saking pentingnya, Benedict Anderson membantu menerjemahkan buku tersebut ke dalam bahasa Inggris lalu menerbitkannya di Jurnal Indonesia terbitan Cornell University.
Tak hanya itu, buku ini kemudian diterjemahkan ke delapan bahasa, antara lain bahasa Belanda, Jepang, China, dan lain-lain.
Buku Putih Perjuangan Mahasiswa 1978 itu tak mungkin ada tanpa kegiatan-kegiatan intelektual mahasiswa di zaman itu. Mulai dari membaca lalu berdiskusi dan kemudian merumuskannya ke dalam tulisan.
Menggunakan berbagai sumber dari surat kabar, majalah, buku, serta dokumen resmi pemerintah, seperti “Rencana Pembangunan Lima Tahun Kedua 74/75-78/79”. Lahirlah sebuah buku dari tangan mahasiswa berupa kajian mendalam mengenai kondisi Indonesia saat itu.
Secara umum, Buku Putih Perjuangan Mahasiswa 1978 membandingkan kondisi nyata Indonesia masa itu dengan dokumen-dokumen perencanaan pembangunan pemerintah.
Kajian ini dilakukan dari berbagai perspektif (politik, ekonomi, sosial budaya, dan hukum) juga dilengkapi dengan argumentasi kenapa kondisi Indonesia saat itu terpuruk. Diperkuat dengan berbagai data sesuai indikator yang terdapat pada Pelita I dan II, serta Repelita III.
Data-data yang dilampirkan antara lain tentang pertanian, keuangan, transmigrasi, koperasi, perdagangan, pengembangan wilayah, pekerjaan umum serta tenaga listrik, dan perencanaan nasional. Buku ini menyimpulkan dua hal sebagai penyebab utama keterpurukan Indonesia, yaitu sikap otoriter Soeharto dan strategi pembangunan yang tidak tepat.
Buku Putih Perjuangan Mahasiswa 1978 diluncurkan pada 16 Januari 1978 di Gerbang Kampus ITB, Jalan Ganesha, Bandung. Ribuan mahasiswa mengikuti acara tersebut. Hadir juga Rektor ITB saat itu, Prof. Iskandar Alisjahbana. Peluncuran tersebut diliput di berbagai media nasional seperti Kompas dan Tempo.
Akibatnya, beberapa media termasuk Kompas sempat dilarang terbit beberapa waktu oleh pemerintah. Buku ini juga dibacakan di berbagai stasiun radio di Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Makassar, dan sebagainya. Selain itu, kopian buku ini menyebar di berbagai daerah, disebarkan oleh mahasiswa yang sedang pulang kampung.
Soeharto marah besar. Buku tersebut dilarang untuk beredar. Pimpinan-pimpinan mahasiswa ditangkap.
Termasuk Rizal Ramli, Heri Akhmadi, Indro Tjahjono, Irzadi Mirwan (alm), Al Hilal, Ramles Manampang, Jusman SD, Joseph Manurung, Kemal Taruc, dan sebagainya.
Penangkapan mahasiswa ini justru makin membangkitkan solidaritas dari mahasiswa Indonesia. Kampus-kampus lain semakin masif ikut bergerak. Selain menuntut diturunkannya Presiden Soeharto, mereka juga menuntut agar para pimpinan mahasiswa dibebaskan.
Salah besar apabila menganggap bahwa pergerakan mahasiswa hanyalah bentuk protes yang tidak berdasar.
Gerakan mahasiswa 1978 membuktikannya. Mengenang apa yang pernah terjadi pada tahun 1977–1978, Rizal Ramli dalam sebuah wawancara mengatakan:
Apa yang terjadi pada tahun 1977 dan 1978 diawali dari kegiatan membaca dan diskusi. Dari membaca, kami mengetahui apa yang terjadi di berbagai belahan dunia.
Kami memperoleh kesempatan berdialog langsung dengan para pemikir besar dunia. Di zaman itu, buku-buku terbatas dan beberapa dilarang (oleh pemerintah) untuk dibaca.
Kami mencari buku di pasar loak. Sekalinya kami memperoleh buku yang bagus, buku tersebut dipinjamkan kepada teman-teman lain. Buku beredar dari satu mahasiswa ke mahasiswa lain agar semua bisa membaca. Buku lalu kami diskusikan. Agar tidak diikuti intel, diskusi kami adakan berpindah-pindah dari satu kos ke kosan yang lain.
[***]