BICARA tentang pendidikan pasti kita semua paham dan tahu bahwa hal itu sangat penting. Pendidikan kemampuan, pengetahuan, merupakan salah satu modal untuk hidup di zaman yang serba sulit ini.
Mengapa dikatakan demikian? Tentu kita bisa menjawabnya, apa hal pertama ketika mengajukan surat lamaran kerja? Apa yang kita butuhkan ketika ingin memulai usaha atau bisnis?
Tentu saja pendidikan, kemampuan, wawasan dan pengetahuan yang kita dapatkan. Tetapi entah mengapa di beberapa wilayah Indonesia tidak mengenyam pendidikan sebagai mana mestinya.
Mungkin sedikit demi sedikit indonesia akan sadar dengan pendidikan. Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) yang jatuh setiap tangal 2 Mei menitikberatkan atau mengambil tema pendidikan untuk membangun peradaban bangsa.
Di dalam UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional tercantum pengertian pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik aktif mengembangkan potensi diri, sehinga memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan akal, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan oleh dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Pertanyaan kemudian apakah pendidikan hari ini sesuai tercantum dalam UU tersebut? Saya rasa belum, sudah lari jauh dari aturan pendidikan yang sebenarnya. Salah satunya adalah mengembangkan potensi diri dalam mencerdaskan anak bangsa, yang mulai dikikis oleh kepentingan politik dan pemahaman ilmu yang kerdil.
Salah satu kejadian yang sangat konyol di saat peyitaan buku di salah satu toko kawasan HOS Tjokrominoto, Padang, Sumatra barat (Sumbar) oleh aparatur negara TNI, dengan dalil bahwa buku-buku cenderung ke kiri dan menghidupkan kembali pikiran-pikiran PKI. Buku kiri dikaitkan dengan politik genosida 1965-1966 dan hal ini sangat sempit di tafsirkan.
Kiri sejauh saya melihat pemikiran Karl Marx dan Frederich Engels, di dalam ajarannya selalu mengarahkan agar orang yang belajar kritis dalam berilmu. Bukan berarti saya mendewakan Marx dan Engels, tapi para aparatur negara hari ini TNI dan Polri menafsirkan kiri dengan peristiwa G30S/PKI.
Ketika dikaitkan dengan kejadian politik 1965, saya rasa tidak rasional sekali dalam menafsirkan buku kiri dengan sejara buruk pada kala itu. Mengapa demikian? Tanpa disadari buku-buku ini memberikan ilmu pengetahuan yang cukup bagus untuk di konsumsi oleh anak bangsa yang memang hari ini kualitas pengetahuannya sangat kerdil.
Sehinga dengan adanya buku-buku kiri kecerdasan intelektual anak bangsa semakin menonjol dalam berilmu. Dan mampu mengkritisi segala kebijakan publik yang tidak mencerminkan Demokrasi.
Ketika pemuda intelektual indonesia mampu menguasai ilmu kiri lambat laut SDM yang awalnya dia kerdil dalam berilmu akan menjadi orang yang hebat dalam berilmu pengetahuan. Sehinga cita-cita dar UU no.20/2003 yakni mendidik agar menjadi orang cerdas, mengembangkan potensi diri dan keterampilan dalam mengembangkan diri bisa terwujud sebagaimana mestinya.
Mencerdaskan anak bangsa hari ini bukan lagi belajar ‘ini bapak Budi, ini mama Budi’. Sistem pembelajaran ini yang mesti ditransformasi dengan pola belajar tanpa di batas.
Tindakan yang di lakukan aparatur negara dalam meyita buku kiri tidak mencerminkan demokrasi. Ini sudah melenceng dari pembukaan UUD 1945 alinea ke-4 mencerdaskan kehidupan bangsa. Dan membatasi proses belajar adalah tindakan yang tidak mencerminkan pancasila.
Presiden pertama Bung Karno pernah mengakui dirinya kiri. Dia adalah salah satu yang mengembangkan pemikiran Marx ala Indonesia. Bukan pertentangan kelas borjuasi dan proletariat, tapi ia bertumpu pada marhaen, yakni petani kecil, buruh kecil dan nelayan kecil.
Di sinilah sebuah contoh penerapan kiri yang sesuai dengan kultur dan kebudayaan Indonesia sendiri. Di sinilah titik terang bahwa pemikiran kiri mampu memberikan ilmu yang luar biasa dahsyatnya untuk menciptakan kaum intelektual yang luar biasa hebat.
Sehinga bagi saya secara pribadi buku kiri itu indah dan sangat seksi untuk dikonsumsi oleh generasi penerus bangsa ini, agar bisa mencetak kaum intelektual yang mampu melawan ketimpangan global demi membebaskan bangsa ini dari keterbatasan ilmu yang kerdil.
Karena ilmu itu mahal nilainya. Jangan ‘beronani’ pikiran agar kita bisa menjadi kaum intelektual muda indonesia yang disegani bangsa lain.
Oleh Fernando Akar, aktivis GMNI Makassar