Ditulis oleh Pemerhati Sosial Woworuntu Manalo
BANG Rizal Ramli selalu memilih cara yang sederhana berbagi pengetahuan. Ngopi sembari bertukar cerita. Atau mengajak kita berkelana lewat rangkaian kisah.
Sebelum pulang, Bang Rizal mengajak saya bergegas ke sebuah toko buku. Toko itu cuma bersebelahan dengan kedai, tempat kami menikmati kopi dan kudapan pisang goreng, pada sebuah petang awal Oktober lalu. Dia berjalan mendahului. “Sebentar, saya beliin kamu buku dulu, kata Bang Rizal sembari nyelonong masuk. Saya mengekor. Ikut masuk. Sambil bingung.
Berukuran mungil. Lebar sekitar tujuh meter. Panjang sepuluh. Toko buku itu bersih. Terlihat seperti perpustakaan pribadi yang diangkut ke dalam sebuah Cafe. Cozy. Dan hampir semua buku yang dijejerkan di dinding, juga yang berbaris di meja panjang itu, datang dari negeri jauh. Bahasa Inggris.
Sudah berkali-kali saya membaca tentang riwayat Bang Rizal ini. Dari kecil suka membaca. Hingga kuliah di Institut Teknologi Bandung (ITB) juga rajin membaca. Membaca itu, kata Bang Rizal, laksana berkelana. Seperti sebuah pengembaraan ke negeri asing, yang nyaris tanpa titik hilang.
Dan selama berkelana itu, kita akan bertemu banyak hal. Budaya. Karakter. Pemikiran. Gagasan baru. Lelucon tentang kehidupan. Jati diri. Serta sekian tokoh, yang dari mereka kita bisa memetik begitu banyak soal sekaligus jawaban yang resonansinya tak pernah sanggup disudahi oleh waktu. Hingga hari ini. Dan jika wejangan ini saya teruskan, kita seperti tenggelam dalam pesan Sang Alkemis, Paulo Choelho.
Dari sekian tokoh, barangkali Albert Einstein lah yang paling berkesan bagi Bang Rizal. Dia punya koleksi puluhan buku, punya lukisan tentang si jenius yang sedang menjulurkan lidah, punya patung Einstein di ruang tamu rumah, dan jika kita bertanya tentang sang fisikawan kepada Bang Rizal, kita seperti sedang membaca sebuah biografi panjang, yang warna-warni bagai pelangi.
Dia akan begitu runut berkisah tentang lelaki jenius yang kisah cintanya penuh retakan itu. Lengkap dengan kecintaan pada musik, pada biola, tentang bagaimana Einstein begitu mengidolakan Wolfgang Amadeus Mozart dan Sebastian Bach. Hingga keranjingan Einstein pada kisah-kisah penuh tegangan si novelis paling sohor Karl May yang pada usia 27 tahun didakwa mencuri, tapi dari kesempitan kamar bui, novelnya berkelana ke dalam jiwa dan isi kepala tokoh-tokoh dunia.
Ketika mensesap kopi Gayo di kedai sore itu, saya bertanya kepada Bang Rizal, tentang mengapa dia begitu terkesan dengan Albert Einstein, lelaki kelahiran Jerman, 14 Maret 1879 itu. Bang Rizal tertegun sejenak, dan memulai menjawab pertanyaan itu dengan cerita dari kejauhan masa belia.
Bang Rizal memulai dengan cerita tentang Ibu. Semenjak usia tiga tahun, sang Ibu rajin mengari Rizal kecil membaca. Sayang sang Ibu wafat ketika Rizal masih belia. Usia enam tahun. Kegemaran membaca yang ditanam sang Ibu itulah, yang menjadi warisan berharga sepanjang hidupnya.
Dibesarkan oleh sang nenek, Rizal rajin membaca buku apa saja. Oleh karena rajin membaca itu, dia kemudian belajar bahasa Inggris. Baca buku tentang banyak tokoh, dan akhirnya jatuh cinta pada sosok Albert Einstein. Gara-gara Einstein pula, Bang Rizal jatuh cinta pada Fisika, ilmu yang terbilang memusingkan bagi kebanyakan kita.
Ilmu fisika itu ruwet. Karena penuh rumus. Belajar tentang materi, gerak, dan perilaku. Gaya. Tapi bukan tentang kosmopolitan. Ilmu memahami bagaimana semesta bekerja. Njelimet. Tapi seperti kata pepatah; kalau sudah cinta, segalanya menjadi mudah. Indah dan bikin senang. Dan Bang Rizal jatuh cinta pada ilmu ruwet ini. Mengikuti jejak Einstein dia belajar fisika. Di Institute Teknologi Bandung. Kampus yang melahirkan begitu banyak manusia cerdas sekaliber mendiang Soekarno dan BJ.Habibie.
Bang Rizal masuk kampus itu, ketika Indonesia sedang tumbuh. Kebanjiran investasi. Para pemodal datang, ekonomi mengejar angka pertumbuhan, tapi di tengah gemuruh investasi itu, rakyat seperti ditaruh di ruang tunggu. Ramai-ramai menunggu tetesan ke bawah yang dijanjikan pertumbuhan. Cerita tentang penggusuran dan rakyat yang dilupakan ramai ditulis media massa, mengilhami para penyair, hingga sekian pencipta lagu.
Bang Rizal yang saat itu aktif di Dewan Mahasiswa ITB, ikut memimpin aksi massa ke jalanan. Protes cara mereka yang dipucuk mengelola negara. Bersama sejumlah kawannya, dia ditangkap. Nasib anak-anak muda itu disandiwarakan di ruang pengadilan, untuk kemudian mereka dijebloskan ke dalam kamar penjara Sukamiskin. Selama satu setengah tahun.
Di kamar penjara itulah dia memutar haluan. Entah karena jatuh cinta pada ilmu ekonomi, atau karena melihat ujung pangkal ketidakadilan adalah cara mengelola negara yang salah, Rizal kemudian mulai membaca sejarah dan pemikiran ttg ekonomi.
Waktu mahasiswa dia sempat belajar ekonomi di Tokyo. Dan selepas dari penjara,
dia kuliah Boston Amerika Serikat dan pulang membawa gelar doktor. Dalam bidang ekonomi.
Bersama sejumlah kawannya dia mendirikan lembaga riset Econit, menjadi Menko Perekonomian pada masa pemerintahan guru sekaligus sahabatnya Gus Dur, dan belakangan menjadi Menko Maritim pada masa Joko Widodo. Meski sudah terbang begitu tinggi, hingga hari ini kita tetap melihat Bang Rizal seperti masa mudanya, rajin membaca, tetap menulis terutama di media internasional, berdiri demi kepentingan orang kecil, dan tetap fasih bicara fisika.
Tetap mengidolakan Albert Einstein. Dan tetap keranjingan pada sekian hal yang berbau Tokoh Abad Ini versi Majalah Time tahun 1999 itu. Kawan-kawan masa mudanya, begitu paham kisah kecintaan Bang Rizal pada Albert Einstein itu. Seorang sahabat dari bangku kuliah, yang kini menjadi dosen di California, Amerika Serikat, menghadiahi Bang Rizal kaos kaki bergambar Einstein pada ulang tahunnya beberapa waktu lalu. Bang Rizal begitu girang memamerkan kaos kaki itu di lini masa. Ramai komentar.
Pada kamar kerja pribadi di rumahnya, diantara begitu banyak buku tentang politik dan ekonomi, terselip juga buku-buku tentang Einstein.
“Dua buku ini harus kamu baca,” kata Bang Rizal sembari menyodorkan buku- buku itu kepada saya, tentu setelah dia membayar pada kasir. Saya membungkukan kepala, tanda terima kasih. Sejenak saya membaca judul dua buku itu, membalik melihat catatan halaman paling belakang.
Kian petang, toko buku itu terlihat makin ramai. Beberapa anak muda masuk. Ada yang menuju buku-buku di meja panjang itu, ada yang melihat buku yang berjejer di dinding. Seorang diantaranya menghampir kami. Menyapa Bang Rizal. Si anak muda itu memperkenalkan diri sembari menyorong tangan. Santun dan seperti penuh hormat. Saya memilih minggir. Duduk pada sebuah kursi sembari membolak-balik dua buku itu.
Zero to One, begitu judul salah satu buku itu, ditulis oleh Peter Thiel. Sunggulah mudah, kata buku itu, mengekor sebuah model yang sudah ada untuk membangun sesuatu, tetapi setiap kali kita menciptakan sesuatu yang baru, kita bergerak dari Zero to One, dan hasilnya adalah sesuatu yang unik dan segar. Buku kedua berjudul Grit. Di tulis oleh Angela Duckworth, buku ini berkisah tentang bagaimana passion dan resilience menjadi rahasia penting dalam meraih kesuksesan.
Cukup lama saya duduk di kursi itu, melihat daftar isi Grit dan melaju ke halaman yang menculik perhatian. Dan Bang Rizal masih di sana. Tiga kawan si anak muda itu, ikut ngobrol bersama Bang Rizal. Lalu swafoto. Setelah mereka berselfi ria, saya menyela. Pamit pulang pada Bang Rizal. Dia menyahut, “Hati-hati di jalan, salam untuk keluarga.”
Melangkah keluar saya berpapasan dengan sepasang suami-istri. Mereka bergandengan tangan. “Oh, ini Sabtu petang,” batinku. Demi mendengar sang suami menyapa Bang Rizal, saya menoleh sejenak, lalu terus melangkah. Meninggalkan toko itu, menoleh ke Kedai Kopi di sisi kanan, bersama Zero to One dan Grit, pulang. Malam sudah menjemput.
(***)