BANYAK spekulasi yang berkembang di tengah masyarakat terkait mega proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung senilai USD 5,5 milliar atau Rp76 trilliun ini.
Saya pribadi saat ini masih menyangsikan kebijakan ini, karena minimnya sosialisasi dan seperti terburu-buru. Walau mungkin, kita juga harus dapat melihat setiap infrastruktur pasti memiliki tujuan positif ke depannya.
Namun bukan berarti hal ini tidak dapat dikritisi, baik terkait perencanaannya, pendanaannya, urgensinya ataupun teknis pelaksanaannya.
Apabila dilihat dari sisi urgensinya, ada pendapat bahwa pembangunan proyek kereta api cepat (KA) Jakarta-Bandung akan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Namun, yang patut dicatat adalah, kereta cepat ini hanya mengangkut penumpang. Padahal, Indonesia saat ini tidak hanya membutuhkan angkutan penumpang, tetapi juga barang guna memangkas biaya logistik.Â
Apabila tujuannya hanya untuk efensiensi waktu sehingga mendukung mobilitas kehidupan perekonomian kota Bandung-Jakarta beserta beberapa daerah penghubung lainnya, rasanya sangat kurang tepat.Â
Karena faktanya jalur transportasi antara kota Bandung-Jakarta sudah banyak alternatif. Ada jalan tol Cipularang, kereta api dan pesawat terbang Jakarta-Bandung.Â
Dengan Rp76 triliun itu pemerintah sebenarnya bisa membangun banyak jaringan KA di seluruh Indonesia sehingga manfaatnya bisa langsung dirasakan oleh rakyat. Proyek KA cepat yang menelan investasi sangat besar hanya mengangkut penumpang tidak akan memacu pertumbuhan ekonomi, meskipun pemerintah memasukkannya sebagai salah satu proyek strategis nasional.
Pemerintah harus berpikir cerdas dan realistis. Jika ingin memangkas biaya logistik dan mendorong pertumbuhan ekonomi, Presiden Joko Widodo seharusnya mengembangkan KA logistik, bukan membangun kereta cepat di rute yang relatif pendek.
Pertanyaan tentang urgensi ini pun perlu dijelaskan lebih detail, begitu pun tentang visi mega proyek ini untuk 20 sampai 30 tahun ke depan karena biaya pembangunan kereta cepat sangat besar.Â
Biaya itu bukan berasal dari pengalihan subsidi BBM melainkan setoran equity 25 persen konsorsium empat BUMN senilai hampir Rp19 triliun, dan sisanya 75 persen berasal dari pinjaman China terhadap empat BUMN (Waskita, PT Jasa Marga (Persero) Tbk, PT Kereta Api Indonesia (Persero), dan PT Perkebunan Nusantara VIII) yang harus dilunasi selama 60 tahun.Â
Pinjaman ini memakan waktu yang cukup lama, dan khawatir ini akan menjadi beban yang berkepanjangan apabila tidak diimbangi dengan kemanfaatan nilai dan fungsi dari rencana proyek ini.Â
Lalu pernahkah berpikir tentang bagaimana konsekuensi terhadap BUMN kita bila proyek ini gagal. Kalau kontraktor itu lalai atau wanprestasi dalam mengerjakan proyek kereta cepat itu, apa yang akan terjadi dengan pinjaman kepada konsorsium empat BUMN Indonesia. Yang namanya utang ya tetap utang. Yang harus dicicil utang pokok plus bunganya jika telah jatuh tempo.
Apalagi kontraktor pelaksana teknis pembangunan kereta cepat itu adalah pihak China yang mungkin akan membawa tenaga kerja dari sana pula. Apabila gagal, China tidak akan mau pusing dengan kelalaian kontraktornya sendiri, sengaja atau tidak sengaja. Yang namanya utang ya harus bayar.Â
Jika tidak mampu membayar bukan mustahil China akan akuisisi saham empat konsorsium BUMN. Maka China akan menguasai BUMN Indonesia. Pernahkah terpikir akan konsekuensi ini?Â
Seperti yang diketahui bahwa keputusan pembangunan kereta cepat merupakan tindak lanjut hasil kunjungan Presiden RI ke China pada tanggal 25 Maret 2015, keputusan rapat terbatas, dan MoU antara Kementerian BUMN dengan National Development and Reform Commission of the People’s Republic of China (NDRC) tanggal 22 April 2015. Untuk mempercepat pelaksanaan program kereta cepat terintegrasi, pemerintah menugaskan Konsorsium BUMN berdasarkan Perpres No.107 Tahun 2015.
Oleh Dodi Prasetya Azhari, Ketua Umum Suara Kreasi Anak Bangsa