KedaiPena.Com – Maskapai penerbangan plat merah Garuda Indonesia keserempet masalah penyelundupan motor Harley Davidson dan sepeda Brompton.
Sampai-sampai, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir resmi mencopot lima direksi Garuda Indonesia.
Kelima direksi tersebut yakni, Direktur Utama Ari Askhara, Direktur Operasi Bambang Adi Surya, Direktur Kargo dan Pengembangan Usaha Mohammad Iqbal, Direktur Teknik dan Layanan Iwan Joeniarto, serta Direktur Human Capital Garuda Indonesia Heri Akhyar.
Ternyata masalah Garuda bukan saat ini saja. Di masa awal reformasi, Garuda pun sempat kesandung masalah. Menko Ekuin saat itu, Rizal Ramli, membongkar cerita buruk tersebut.
“Saya mungkin ‘flash back‘ ke belakang. Waktu awal 2000-an, waktu saya jadi Menko, saya dapat ancaman dari para kreditor, Garuda tidak mampu bayar utang 1,8 miliar dolar AS untuk membeli pesawat Airbus,” kata Rizal di Jakarta, Selasa (10/12/2019).
Para kreditor itu mengancam, kalau pesawat Airbus milik Garuda itu terbang di luar Indonesia, mereka akan sita. RR, sapaan Rizal Ramli, lantas mengirim orang, untuk menyampaikan pesan, silakan sita pesawat tersebut.
“Karena kalau benar disita, akan kami tuntut konsorsium bank Eropa ini di Pengadilan Frankfurt,” sambung bekas anak buah Presiden Gus Dur ini.
Karena, tambahnya, setiap kali pembelian pesawat Garuda pada zaman itu, pasti ada ‘mark up‘. Bahkan menyentuh angka lebih dari 50 persen. Dan konsorsium bank ini membiayai ‘mark up‘ itu.
“Kasarnya mereka dapat bunga dari kredit yang secara legal tidak ‘legitimate‘. Kita yakin kalau kita ajukan di Frankfurt, kita bisa menang, direksi bank bisa masuk penjara, harga saham jatuh. Dan mereka kena denda. Orang barat paling takut kalau dituntut hukum,” lanjut dia.
Akhirnya belasan konsorsium bank itu datang ke Jakarta, untuk bertemu dengan Rizal Ramli. Mereka pun memohon agar kasus ini tidak dibawa ke pengadilan.
“Kalau tidak ada ‘mark up‘, Garuda aman-aman saja. Mereka bisa bayar utang. Tapi karena kebiasaan ‘mark up‘, ada masalah utang, Garuda tidak mampu atau gagal bayar utang,” sambung eks Penasehat Panel Ekonomi PBB ini.
Rizal lalu meminta konsorsium kreditor ini melakukan restrukturisasi utang. Dan mereka setuju, tetapi minta dijamin 100 persen, dari angka 1,8 miliar dolar AS.
“Kami jawab, jalau kami punya uang untuk membayar garansi itu, kami tidak perlu kalian (konsorsium kreditor). Artinya kasus ini juga dilanjutkan ke pengadilan,” kesal RR.
“Akhirnya dicari jalan, dan disepakati kita memberi token garansi hanya 100 juta dolar,” tambah dia.
Kedua, Rizal tidak mau token garansi itu keluar dari Kemenkeu, tapi dari bank pemerintah, karena takut ada apa-apa.
“Kasarnya kita pada waktu itu selamatkan Garuda. Karena kalau tidak masalahnya akan semakin besar,” tandas RR.
Laporan: Muhammad Lutfi