KedaiPena.Com – Limbah makanan, bukan hanya berkaitan dengan sumbangan pada peningkatan emisi rumah kaca. Tapi juga berkaitan dengan akses pangan bagi masyarakat yang masih membutuhkan dan efisiensi sumber daya.
Karenanya penting dilakukan suatu kajian pengelolaan pangan untuk menghasilkan kebijakan yang memastikan keberlangsungan sumber daya dan tanpa peningkatan efek rumah kaca.
Direktur WRI Indonesia, Dr. Nirarta Samadhi menyatakan berdasarkan laporan Bappenas tahun 2021 menyatakan bahwa susut dan limbah pangan (Food Loss and Waste) di Indonesia menghasilkan emisi gas rumah kaca sebesar 115 -184 kg per kapita per tahun.
“Dampaknya, tak hanya kerugian PDB antara 4 hingga 5 persen tapi juga kenaikan emisi gas rumah kaca. Termasuk juga kehilangan kandungan zat gizi bagi pihak yang membutuhkan. Untuk mengatasinya dibutuhkan suatu protokol yang memungkinkan semua pihak untuk melihat berapa susut dan limbah pangan yang mereka hasilkan dan apa strategi yang harus mereka lakukan untuk mencapai target pengurangan FLW dalam waktu tertentu. Dan ini bukan hanya dilakukan oleh pemerintah tapi oleh semua pihak, lembaga maupun individu, swasta maupun pemerintah,” kata Nirarta dalam Acara Peringatan International Food Loss and Use Awareness Day, Rabu (29/7/2021).
Susut dan limbah pangan dari bidang pertanian, yang terbesar berasal dari padi-padian dan hortikultura, terutama sayur-sayuran.
“Kondisi ini semakin memburuk dengan adanya pandemi dan sistem pangan yang masih membutuhkan perbaikan,” ucapnya.
Untuk mengatasi kompleksitas dampak Food Loss and Waste ini, dibutuhkan suatu pendekatan kolaborasi holistik dan terintegrasi dari tiap sektor.
“Komitmen Indonesia untuk mengatasi susut dan limbah pangan ini tertuang dalam program nasional RPJMN 2020 – 2024, dalam bentuk pengembangan ekonomi sirkular menuju ekonomi berkelanjutan dan pengurangan emisi gas rumah kaca. Untuk mendukungnya, dibutuhkan kerja sama semua pihak dalam mengurangi susut dan limbah pangan ini, mulai hulu hingga hilir rantai pasok pangan,” ucapnya lagi.
Di sektor individu, yang bisa dilakukan adalah memastikan untuk membeli sesuatu yang memang sesuai dengan apa yang dikonsumsi.
“Kesannya memang sedikit. Tapi jika banyak yang melakukannya maka akan menjadi bukit. Jadi mulai dari individu, komunitas, lembaga, swasta maupun pemerintah, sehingga target yang diinginkan dapat tercapai,” tandasnya.
Hal senada juga diungkapkan oleh Executive Director Indonesia Business Council for Sustainable Development (IBCSD), Indah Budiani yang menyatakan isu susut dan limbah pangan ini harus didorong ke private sektor.
“Di Indonesia, proses produksi pangan itu bersifat resource intensif. Maksudnya,pangan harus melalui serangkaian proses yang membutuhkan sumber daya dan waktu yang kompleks. Dan memiliki dampak yang signifikan terhadap lingkungan,” kata Indah dalam kesempatan yang sama.
Ia mencontohkan dari sepiring sarapan yang dikonsumsi setiap orang, ada banyak sumber daya yang dibutuhkan untuk menghasilkannya.
“Misalnya, kita sarapan roti. Artinya, ada luasan lahan untuk penanaman gandum, ada jumlah air untuk mengairi lahan, ada pupuk yang dipakai, apakah organik atau berbahaya, proses produksi merubah gandum menjadi roti dan proses transportasi dan distribusi dari pabrik menuju piring kita,” urainya.
Dengan menggunakan alat perhitungan, proses menghadirkan roti sebagai sarapan seseorang, menghasilkan emisi gas rumah kaca sebesar 21 kilogram per tahunnya. Setara dengan mengendarai mobil sejauh 90 km.
“Ini baru proses produksinya. Belum kalau rotinya tidak dimakan dan menjadi sampah,” urainya lagi.
Berdasarkan data FAO tahun 2015, sampah makanan yang tercatat di seluruh dunia adalah 1,3 miliar ton per tahun dan berkontribusi pada emisi gas rumah kaca sekitar 8 persen.
“Kolaborasi dan kontribusi sangat dibutuhkan dalam mengatasi masalah ini. Dan mendorong aksi individu dan aksi gotong royong untuk memastikan agar susut dan limbah pangan dapat dikurangi hingga titik terendah,” pungkasnya.
Laporan: Natasha