JUMAT sore (20/9/2019) KPK diguncang demo oleh para aktivis PMII. Aksi demonstrasi berlangsung ricuh. Para demonstran terlibat keributan dengan aparat.
Itulah aksi demonstrasi sebagai wujud kemarahan para aktivis PMII atas ditetapkannya mantan Menpora Imam Nahrawi sebagai tersangka kasus suap KONI.
Para demonstran menganggap bahwa KPK dalam kendali “kelompok tertentu” yang bermaksud ingin menjatuhkan tokoh muda NU.
Tuduhan tersebut bukan tanpa alasan, sebelum menyematkan status tersangka kepada Imam Nahrawi, KPK juga menyokok Ketua Umum PPP Romahurmuzy, yang juga merupakan kader NU.
Bahkan kasus Romy kemudian melebar dan menyeret nama Menteri Agama Lukman Hakim Syaifuddin, yang juga merupakan tokoh muda NU.
Di sinilah tuduhan para aktivis PMII mulai menemukan kebenarannya. Bahwa KPK yang dianggap disusupi “kelompok lain” menjadikan tokoh muda NU sebagai target.
Adanya tuduhan ini menjadikan KPK seolah menjadi sebuah hamburger. Dari atas digencet oleh “koalisi” Pemerintah dan DPR. Dari bawah juga ditekan oleh para aktivis PMII yang meragukan netralitas KPK.
Menghadapi “koalisi” Pemerintah dan DPR, KPK sudah kalah dua kosong. Pertama, kalah soal pemilihan Capim KPK. Kedua, kalah soal revisi UU KPK. Sementara itu penetrasi yang dilakukan para aktivis PMII juga tidak bisa dianggap remeh. Setidaknya, kemarin para aktivis PMII sudah sukses membuat “bakar-bakaran” di depan KPK.*
Beruntung, pada hari Kamis (19/9/2019), KPK mendapatkan suntikan dukungan dari para mahasiswa yang melakukan aksi demonstrasi di depan DPR. Namun sayang, aksi tersebut tidak berlanjut pada keesokan harinya.
Dukungan dari para penggiat Demokrasi, HAM, dan Anti Korupsi, hingga kini juga tidak bertambah. Hanya itu-itu saja. Sementara para tokoh yang pada kasus Cicak Vs Buaya tahun 2009 mendukung KPK, hingga kini belum nampak dukungannya.
Bisa jadi para tokoh tersebut sudah kehilangan kepercayaannya terhadap KPK zaman now. Para tokoh tersebut misalnya Adhie Massardi (Koordinator GIB), Yudi Latif, Effendi Ghozali, dan lain-lain.
Maka solusi terakhir yang harus dilakukan KPK adalah mengembalikan kepercayaan publik. Agar dukungan besar-besaran yang pernah didapat saat kasus Cicak vs Buaya hari ini bisa hadir kembali.
Pertama, KPK harus membantah tudingan aktivis PMII bahwa KPK sudah dalam kendali kelompok lain dan menargetkan kelompok tertentu. Netralitas KPK bisa ditunjukkan dengan menetapkan status tersangka kepada menteri-menteri lainnya yang sudah terindikasi kuat melakukan korupsi.
Menteri yang dimaksud misalnya, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita. Enggar sudah tiga kali tidak menggubris panggilan KPK. Padahal jelas sekali mantan anggota DPR Bowo Sidik Pangarso mengaku disuap Rp. 2 milyar oleh Enggar untuk mengurus Permendag soal Gula Putih.
Kasus lainnya adalah dugaan korupsi impor pangan. Ekonom terkemuka Rizal Ramli sudah melaporkan korupsi impor pangan ke KPK pada 23 Oktober 2018. Tak tanggung-tanggung, kerugian akibat impor pangan mencapai Rp. 24 triliun.
Kedua, KPK harus berani membongkar kasus-kasus kakap. Misalnya, BLBI, Century, Reklamasi, dan lain. Selama KPK masih bergaya seperti sekarang hanya meng-OTT kasus-kasus kecil, maka jangan berharap dukungan besar akan hadir.
Harapannya, KPK segera berubah. Jangan sampai KPK menjadi hamburger yang siap disantap oleh para koruptor!
Oleh Sya’roni, Ketua Presidium PRIMA (Perhimpunan Masyarakat Madani)