HARGA gas industri tak boleh naik! Itu terdengar agak aneh bagi para ekonom maupun analis. Mengapa? Harga gas industri itu tidak disubsidi. Harga gas industri diatur dengan mekanisme pasar. Mekanisme pasar berarti harga gas ditentukan oleh mekanisme permintaan dan penawaran semata.
Harga ditentukan oleh kesepakatan antara pembeli dan penjual yang berlaku di pasar. Penentu harga adalah invisible hand atau tangan tersembunyi yakni hukum pasar. Teorinya demikian.
Apakah hukum ini tidak bekerja di Indonesia? Ini menjadi pertanyaan. Di Indonesia pembeli gas boleh menolak kenaikan harga. Penjual gas tidak boleh menaikkan harga. Pembeli gas dapat mengancam penjual gas tidak akan mau membayar jika harga gas naik. Ini pasti hukum ekonomi aneh!
Sebagaimana baru baru ini dikemukakan Pelaku industri melalui Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menolak kenaikan harga gas oleh PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) mulai 1 Oktober 2019. Bahkan, pelaku industri sepakat untuk menggunakan harga lama jika PGN tetap ngotot menaikkan harga gas.
“Kita minta kalau nanti terjadi kenaikan harga, kita tidak akan bayar kenaikannya. Harga lama tetap kita pegang,” kata Wakil Ketua Komite Industri Hulu dan Petrokimia Kadin Achmad Widjaja selepas Focus Group Discussion (FGD) terkait penerapan harga gas bumi untuk industri yang digelar di Kantor Kadin, Rabu (25/9).
Menurut Achmad, hal tersebut tidak melanggar kontrak antara PGN dan pelaku usaha. Sebab, ia menyebut rerata kontrak pembelian gas berlangsung lima tahun dan bisa direvisi setiap dua tahun sekali.
Ini sungguh aneh, mengapa? Karena gas industri bukan barang subsidi. Harga gas yang dijual oleh penjual ditentukan oleh biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi gas. Apa saja biaya biaya itu? Biaya bahan baku, biaya distribusi, biaya tenaga kerja. Semua biaya biaya tesebut bisa baik. Karena dipengaruhi oleh inflasi, oleh depresiasi nilai tukar. Karena bahan baku gas dibeli dengan dolar. Biaya gas dipengaruhi oleh bunga bank. Bunga bank di Indonesia sangatlah tinggi.
Memang benar! Kalau harga gas naik atau tinggi, maka industri akan terkena dampak. Naik 0,1 dolar saja industri pasti terkena dampak. Apakah itu bisa dibebankan kepada produsen gas? Tentu saja bisa! Caranya adalah dengan mekanisme subsidi. Bukan mekanisme ngotot-ngototan.
Oleh karenanya Kadin harus menuntut kepada pemerintah agar negara memberikan subsidi gas bagi industri. Sehingga harga gas industri dapat ditetapkan oleh pemerintah. Jika terjadi selisih harga antara pasar dengan harga gas yang dijual pada konsumen industri maka ada melanisme kompensasi atas selisih harga.
Kadin juga harus meminta pemerintah agar mengatur harga bahan mentah gas nasional terhadap perusahaan perusahaan di sektor hulu. Perusahaan penghasil gas bulu masih didominasi oleh perusahaan asing. Mekanismenya adalah harga gas DMO.
Harga gas DMO harus lebih rendah dari harga pasar. Jangan seperti harga batubara DMO sekarang yang ditetapkan lebih tinggi dari harga pasar. Dengan demikian maka PGN yang sekarang adalah penghasil gas bagi industri bisa mendapatkan bahan mentah murah.
Sekarang kondisinya terbalik harga gas internasional rendah, tapi harga bahan mentah yang dibeli PGN sangat mahal.
Hal lain lagi, Kadin kalau bicara industri jangan sepotong potong, tekan negara untuk menurunkan suku bunga, pajak, harga/sewa infrastruktur, dan biaya perijinan. Harga gas PGN hanyalah dampak dari makro ekonomi yang tidak dikelola dengan baik.
Oleh Pengamat Energi Salamuddin Daeng