PADA film berjudul “The Way†tentang “camino de santiago†yang menceritakan penziarahan lintas negara. Sisi pendaki, traveller, dan backpacker kental sekali dalam filem yang menceritakan seorang ayah yang melakukan perjalanan untuk menggantikan mendiang anaknya ini. Sisi religi, katarsis, maupun sisi kesenangan dalam filem ini secara bersamaan tersentuh dalam proses penziarahan.
Dalam catatan sejarah manusia Nusantara lama, terdapat sebuah catatan di mana proses yang hari ini identik dengan kegiatan traveling, backpacker, dan mendaki gunung begitu kental di dalamnya. Kisah tersebut tercatat dalam kisah Bujangga Manik pada sekitar abad ke 15 (kurang lebih 600 tahun yang lalu).
Bujangga Manik merupakan pendeta hindu yang melakukan perjalanan mengelilingi pulau Jawa hingga menembus pulau Bali. Perjalanannya itu sendiri dilakukan dalam rangka perjalanan suci (religius) yang bersifat personal.
Selain sebagai sosok subjek manusia, “Bujangga Manik†sekaligus juga merupakan nama sebuah naska kuno dari koleksi perpustakaan Bodleian di Oxford, Inggris, yang terdaftar sejak tahun 1627-1629. Naskah ini ditulis di atas daun palem dalam bentuk puisi dan larik-larik delapan suku kata, dengan panjang 1641 baris.
Bahasa yang digunakan adalah bahasa Sunda, dan pertama kali diumumkan oleh J. Noorduyn tahun 1982 dalam bahasa Belanda, yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan Sunda pada tahun 1984.
Dalam naskah tersebut, diceritakan bahwa Bujangga Manik merupakan seorang pangeran dari Istana Pakuan (Bogor) yang memilih hidup sebagai pendeta. Sebagian besar hidupnya dihabiskan untuk sebuah perjalanan suci dengan melakukan ziarah ke tempat-tempat pemujaan, keramat, dan suci, dari tempat kelahirannya hingga pulau jauh di seberang timur pulau Jawa.
Naskah Bujangga Manik dengan isinya yang menceritakan detail tempat-tempat yang disinggahi beserta deskripsi sekilas situasi pada masa tersebut, menjadikan naskah ini sebagai sumber literatur sejarah yang dianggap cukup kuat. Pembahasan awal tentang naskah ini bisa kita baca secara khusus dalam catatan Ajip Rosidi tahun 2000 dan secara lengkap dalam buku karya J. Noorduyn yang diterjemahkan Hawe Setiawan pada tahun 2009
Oleh Pepep DW, Akademisi STSI Bandung, Pegiat Jelajah Gunung Bandung