SEKARANG adalah era di mana orang membeli barang bukan karena nilai kemanfaatannya namun karena gaya (hidup). Ini semua demi sebuah citra yang diarahkan dan dibentuk oleh iklan dan mode lewat televisi tayangan sinetron, acara infotaiment, ajang kompetisi para calon bintang, gaya hidup selebriti dan sebagainya.
Yang ditawarkan iklan bukanlah nilai guna suatu barang, tapi citra dan gaya bagi pemakainya. Tidak penting, apakah barang itu berguna atau tidak, diperlukan atau tidak oleh konsumen. Karena itu yang kita konsumsi adalah makna yang dilekatkan pada barang itu, sehingga kita tidak perlu mampu memenuhi kebutuhan kita. Kita menjadi tidak pernah terpuaskan.
Kita lalu menjadi pemboros agung, mengkonsumsi tanpa henti, rakus dan serakah. Konsumsi yang kita lakukan justru menghasilkan ketidak puasan. Kita menjadi teralinesasi kerena prilaku konsumsi kita. Pada gilirannya ini menghasilkan kesadaran palsu.
Seakan-akan terpuaskan padahal kekuarangan, seakan-akan makmur padahal miskin. (Jean P Baudrillard, dalam Masyarakat Konsumsi)
Sebagai seorang pemikir, Baudrillard dikenal sebagai teoritisi terkemuka tentang media dan masyarakat dalam era yang disebut juga posmodern.
Teorinya mengenai masyarakat posmodern berdasarkan asumsi utama bahwa media, simulasi, dan apa yang ia sebut ‘cyberblitz’ telah mengkonstitusi bidang pengalaman baru, tahapan sejarah dan tipe masyarakat yang baru.
Pada fase inilah Baudrillard bermain, di mana masyarakat sebagai pelaku budaya mulai terjerumus dalam kesadaran palsu, yakni di era globalisasi dengan kapitalismenya yang menggila.
Dalam kumpulan esai yang terangkum dalam Sosialisme Religius Muhidin berpendapat, ketika kapitalisme menubuahkan bahwa gerak ekonomi diserahkan kepada (persaingan) pasar, maka proses eksploitasi gila-gilaan itu tidak bisa dihindari. Bukan alam, bukan pula manusia.
Pasarlah yang mngendalikan kebutuhan manusia lewat korporasi-korporasi raksaksa. Mantra rekonsolisasi, penjajahan dan penindasan disenandungkan.
Dalam kasus ini manusia lah sebagai pelaku budaya yang coba di eksploitasi. Terjerumus oleh iming-iming iklan yang tanpa henti dimuat dalam televisi. Menghamba konsep ‘kekinian’, gaya hidup yang ditawarkan media kapitalis, dan tidak menolaknya sedikitpun. Yang nanti pada fase akhirnya menyebabkan hal demikian.
“Kini manusia tidak berkutik dihadapan berhala materialisme, kediktatoran uang, anomistis dan perbudakan. Materialisme fundamentalis telah menjebak manusia ke dalam belenggu alinesasi (kesunyian, keterasingan manusia dari Tuhan, sesama manusia dan lingkungan) dan sinisme.†(Erich Fromm, dalam Sosialisme Religius)
Masyarakat sebagai pemegang jalannya kebudayaan pun seakan terlena, hal-hal demikianlah yang membuat pasar semakin menggila. Dan hal tersebutpun diamini oleh masyarakatnya dengan permintaan pasar yang tinggi sehingga produksipun semakin gencar.
Contoh kecil dalam kasus ini adalah masyarakat pengguna ponsel pintal dengan brand-brand terkenal, seperti Iphone, Samsung dan lain sebegainya. Produk-produk tadi memang menawarkan hal-hal baru untuk penggunanya, dari teknologi yang canggih, resolusi layar, fitur dan keamanan.
Lalu contoh lainnya adalah pengguna televisi flat dengan inci yang lebih besar. Dari segi kualitas, bentuk dan fitur-fitur yang ditawarkan memang televisi flat dengan inci yang besar memang lebih baik, tapi dalam segi fungsi? Bukankah sama, untuk ditonton, baik siaran yang disajikan oleh stasiun-stasiun televisi maupun CD atau film.
Namun yang patut digaris bawahi adalah penggunanya tersebut masyarakat. Apakah ponsel pintar itu berfungsi semestinya? Atau hanya kepentingan gaya hidup saja? Yakni sebagai kebanggaan (pride) bagi penggunanya.
Jika penggunaan ponsel pintar itu sama saja dengan ponsel pintar lain, dengan harga yang jauh lebih murah apakah bukan suatu tindak pemborosan (konsumerisme)? Perihal fungsi yang digunakan tidak begitu berbeda dengan yang sebelumnya.
Yang menjadi garis besar adalah “Kesadaran Palsuâ€. Hal itu dalam konsep Simula menurut Baudrilliard adalah tentang penciptaan kenyataan melalui model konseptual atau sesuatu yang berhubungan dengan “mitos†yang tidak dapat dilihat kebenarannya dalam kenyataan.
Model ini menjadi faktor penentu pandangan kita tentang kenyataan. Segala yang dapat menarik minat manusia, seperti seni, rumah, kebutuhan rumah tangga dan lainnya, ditayangkan melalui berbagai media dengan model-model yang ideal.
Hal-hal yang ditayangankan dengan ideal di dalam iklan-iklan inilah yang menyebabkan masyarakat mengalami kesadaran palsu tersebut. Dengan melihatnya secara terus menerus di televisi, masyarakatpun mulai membayangkan hal-hal yang ditawarkan oleh barang tersebut. Selain itu masyarakat banyakpun mulai mengagung-agungkan dan mulai menghamba terhadap benda tersebut.
Dalam hal ini memang semua kembali kepada kontek sosial masyarakat, di mana masyarakat itu tinggal. Masyarakat ibukota (metropolitan) tentu saja akan memikirkan hal tersebut, baik mereka dengan kondisi sosial yang rendah. Lagi-lagi semua karena iklan yang terus menerus dikunyah oleh masyarakat.
Hal inilah yang mnyebabkan prestige, pride yang pada tulisan awal dijabarkan (yang ditawarkan iklan bukanlah nilai guna suatu barang, tapi citra dan gaya bagi pemakainya). Semua bukan lagi tentang fungsi. Lebih ke eksistensialisme, personal si pengguna barang teretentu.
Terlepas dari masalah individual sebagai pelaku, hal ini justru mengacu pada hubungan sosial masyarakat dan logika sosial. Yakni bagaimana sebagai individu seorang masyarakat lebih peka melihat kondisi sosialnya yang ada.
Jika hal tersebut membawa kerugian untuk dirinya, mengapa harus dilakukan. Contohnya adalah saat seorang tengah memiliki ponsel pintar biasa (dengan harga terjangkau), lalu teman-teman lainnya membeli ponsel pintar yang lebih baru dengan alasan style, kekinian, lagi jaman pdahal dari segi fungsi sudah sama.
Tentu dia akan menolak untuk membeli yang baru dengan alasan yang logis (karena dari segi fungsi sudah sama). Ia akan berpikir bahwa hal itu adalah perilaku komsumtif (pemborosan). Hal inilah yang menjadi penting.
Dalam sintesanya, Baudrilliard mengatakan, satu-satunya solusi untuk mengatasi masalah ini terletak pada perubahan dalam hubungan sosial dan dalam logika sosial. Kita memerukan suatu logika sosial yang membawa bersamanya pertukaran simbolik, bukan nilai tukar. Yakni fungsi lebih diutamakan, bukan kebanggaan, tren, style, kekinian ataupun modernitas.
Oleh Doni Ahmadi, Mahasiswa Sastra UNJ Angkatan 2012