KedaiPena.Com– Sejumlah pegiat pemilu dan koalisi masyarakat sipil membuat petisi untuk menolak penundaan pemilu tahun 2024 yang digulirkan oleh para elite politik. Petisi itu dibuat di change.org dengan tagar tolak penundaan pemilu 2024.
Petisi itu dibuat oleh Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP), Jaringan Demokrasi Indonesia (JaDI), Komite Pemantau Legislatif (Kopel), Konstitusi Demokrasi (Kode) Inisiatif, Network for Democracy and Electoral Integrity (NETGRIT),Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum, Universitas Andalas.
“Penting bagi kita sebagai warga negara untuk menolak penundaan Pemilu 2024 dan perpanjangan masa jabatan presiden. Atas nama negara hukum, politik demokratis, dan keberdayaan ekonomi: tolak penundaan Pemilu 2024. Kami mengajak publik untuk bersama-sama menandatangani petisi ini sebagai bentuk penolakan atas wacana penundaan Pemilu 2024,” ujar Direktur Eksekutif Yayasan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati dalam keterangan tertulis, Kamis, (3/3/2022).
Ia juga menlanjutkan, jika keinginan para elite untuk menunda pemilu 2024 bertentangan dengan konstitusi Indonesia seperti pada Pasal 7 dan 22 ayat (1) UUD NRI 1945.
Dalam pasal tersebut disebutkan jika presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan melalui pemilihan umum yang secara Luber dan Jurdil setiap lima tahun sekali.
“Kesimpulannya, menunda Pemilu 2024 berarti melanggar hukum tertinggi Negara Republik Indonesia,” tegas dia.
Ia pun menyayangkan, para elite partai DPR terus memperluas dukungan agar bisa mengubah konstitusionalitas pemilu berkala dan pembatasan masa jabatan presiden.
“Pasal 37 ayat (1) dan (3) UUD NRI 1945 bertuliskan, usul perubahan pasal-pasal UUD diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 sedangkan mengubahnya sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR,” papar dia.
Ia memandang, PKB, Golkar, dan PAN hanya membutuhkan satu atau dua partai lagi untuk mengusulkan amendemen konstitusi bersama DPD. Lalu, dengan koalisi DPR yang amat besar pendukung pemerintahan Presiden Jokowi, lebih dari cukup untuk melancarkan amendemen.
“Namun amandemen itu akal-akalan belaka karena sangat bertentangan dengan konstitusionalisme pembatasan kekuasaan melalui limitasi masa jabatan yang lahir dari sejarah perjalanan bangsa dan merupakan amanat reformasi,” tegas dia.
Ia menambahkan, menunda Pemilu 2024 dan memperpanjang jabatan presiden pun membuat Indonesia melanggar prinsip pemerintahan presidensial.
“Sebagai bagian dari sistem politik hasil Reformasi, sistem presidensial punya dua perbedaan mendasar dengan sistem parlementer. Pertama, pemerintahan yang terpisah dari parlemen. Kedua, presiden sebagai kepala pemerintahan punya masa jabatan yang tetap dan dibatasi oleh pemilihan langsung oleh rakyat secara berkala,” jelas dia.
Ia melanjutkan, alasan pada konteks Covid-19 pun bertentangan dengan praktik pemerintahan sebelumnya. Pada Pilkada 2020, korban infeksi dan nyawa dari wabah korona ada dalam keadaan puncak.
“Para akademisi lintas bidang, tenaga medis, NGO, Ormas keagamaan lintas iman, dan mahasiswa, meminta penundaan Pilkada 2020. Keadaan ekonomi warga dan APBN/D dalam keadaan buruk karena terdampak Covid-19. Tapi, pemerintah dan DPR tetap melanjutkan Pilkada 2020,” tutur dia.
Dengan demikian, tegas dia, semua hal itu menjelaskan bahwa, penundaan Pemilu 2024 menyerta perpanjangan masa jabatan presiden, melanggar aspek hukum, politik, dan ekonomi.
“Sama halnya dengan kelanjutan Pilkada 2020, menunda Pemilu 2024 merupakan wujud penyelenggaraan negara yang berdasar pada kepentingan politik elite untuk mempertahankan bahkan memperluas kekuasaannya,” tandas dia.
Laporan: Muhammad Hafidh