WARGA Bukit Duri merupakan korban penggusuran. Mereka digusur karena dianggap akibat dianggap pemerintah membuat Kali Ciliwung tidak normal. Makanya pemerintah daerah merasa berkewajiban untuk menormalkan Kali Ciliwung.
Menormalkan kali ternyata tidak cukup dengan mengeruk kali agar lebih dalam, serta menggali kali agar lebih lebar. Menormalkan kali dilakukan dengan mengabnormalisasi kebijakan, peraturan, pikiran dan tindakan para pemangku kepentingan.Â
Peraturan Gubernur DKI Jakarta No. 163/2012 jo Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 2181/2014 sebagai dasar hukum dilaksanakannya program normalisasi Kali Ciliwung telah habis masa berlakunya pada tanggal 5 Oktober 2015.Â
Tanggal 29, 30 September, 1 dan 3 Oktober 2016 merupakan tanggal penindasan hak warga di Bukit Duri. Karena pada tanggal-tanggal itu, rumah-rumah warga telah dihancurkan secara paksa dan tanah-tanah warga dirampas secara melawan hukum.Â
Sebelum tanggal-tanggal tersebut, serangkaian teror, intimidasi, stigmatisasi bahwa warga Bukit Duri merupakan warga liar, menduduki tanah negara, penyebab banjir, dan masih banyak lagi cap-cap negatif yang perlu diberikan kepada mereka.Â
Rangkaian teror yang disampaikan oleh Pemerintah Kota Jakarta Selatan (Pemkot) dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta (Pemprov), saat itu dijabat oleh Basuki Tjahja Purnama seolah-oleh melegitimasi kebijakan mereka untuk menggusur paksa dengan menerbitkan Surat Peringatan Pertama (SP 1), SP 2, dan SP3.Â
Ketiga SP itu diterbitkan dengan alasan warga Bukit Duri telah melanggar Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta No. 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum (Perda Tibum).Â
Alasan Pemprov menggusur karena warga membangun bangunan di pinggir kali Ciliwung. Menurut Pemprov DKI, sudah selayaknya warga digusur akibat pelanggaran yang dilakukannya.Â
Tentu warga Bukit Duri keberatan terhadap tindakan tersebut. Warga menggugat pemerintah daerah karena menerbitkan SP 1, 2, dan 3.Â
‎
Alasan gugatan warga terhadap SP 1, 2, dan 3 yang telah melanggar asas non-retroaktif. Kebanyakan warga tinggal di Bukit Duri sejak Indonesia belum merdeka. Warga sudah membangun rumah di pinggir kali sejak tahun 1920-an.Â
Alasan lainnya, penerbitan SP 1, 2, dan 3 bertentangan dengan Ijin Lingkungan, Ijin Kelayakan Lingkungan, Amdal, UU No. 2/2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, Perpres No. 71/2012, UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan UU HAM.Â
Perjuangan warga Bukit Duri dijawab oleh Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dengan mengabulkan gugatan warga Bukit Duri. Dalam pertimbangannya majelis hakim berpendapat ‎Pemerintah Provinsi DKI Jakarta wajib memberikan ganti rugi yang layak kepada warga Bukit Duri akibat dari diterbitkannya SP 1, 2, dan 3, dihancurkannya rumah-rumah warga dan dirampasnya tanah-tanah warga tanpa kompensasi yang layak.Â
‎Pelaksanaan pembebasan tanah-tanah warga Bukit Duri tidak berdasarkan pada tahap-tahap dalam UU Pengadaan Tanah yaitu inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah, penilaian ganti kerugian, musyawarah penetapan ganti kerugian, pemberian ganti kerugian dan pelepasan tanah instansi.Â
‎Pelanggaran asas kemanusiaan, keadilan, kemanfaatan, kepastian, keterbukaan, kesepakatan, keikutsertaan, kesejahteraan, keberlanjutan dan keselarasan.
‎SP 1, 2, dan 3 melanggar peraturan perundang-undangan. Dalam amar putusannya, majelis hakim PTUN membatalkan SP 1, 2, dan 3 dan mewajibkan pemerintah daerah provinsi DKI Jakarta untuk memulihkan hak-hak warga yang telah dilanggar dan memberikan ganti rugi atas kerugian yang telah dialami oleh warga Bukit Duri.Â
Dengan dikabulkannya gugatan warga Bukit Duri, keadilan yang selama ini tidak pernah berpihak pada korban gusuran menjadi nyata. Sikap pesimis dari korban gusuran bila melawan penguasa tidak akan pernah menang berubah menjadi optimis.
Oleh Vera Wenny Soemarwi, SH, LLM, Kuasa Hukum Warga Bukit Duri