PASKA diberhentikannya Arcandra Tahar dari kursi Menteri ESDM, memantik persoalan baru. Yaitu siapa yang paling bertanggung jawab soal perpanjangan yang tidak wajar terhadap ekspor konsentrat kepada PT Freeport.
Padahal kalau merujuk pada surat rekomendasi yang sudah diterbitkan oleh Dirjen Minerba atas nama Menteri ESDM Â pada tanggal 9 Agustus 2015 atas permohonan PT Freeport Indonesia per 27 Juni 2016 dan disebutkan juga dasar pertimbangan Dirjen Minerba mengacu pada Permen ESDM nmr 5 tahun 2016 Â tanggal 5 Febuari 2016 oleh Menteri ESDM Sudirman Said saat itu, maka selambat-lambatnya Kementerian ESDM harus menerbitkan izin rekomendasi eksport kepada PT Freeport Indonesia adalah pada tanggal 19 Juli 2016.
Alasannya sangat jelas disebutkan bahwa batasan waktu bagi Dirjen Minerba harus sudah menjawab surat permohonan PT Freeport apakah disetujui atau ditolak mengacu pasal 7 ayat 2 , yaitu 20 hari terhitung dari penerimaan lengkap surat permohonannya.
‎
Bisa jadi kalaupun rekomendasi tersebut dikeluarkan pada tanggal 9 Agustus 2016 disaat Archandra sudah menjabat menteri baru hanya sudah disodorkan konsep jadi, dari hasil pembahasan tim teknis Minerba dan dalam posisi serba salah. Hal itu sering terjadi di waktu transisi disemua jabatan di Kementerian dan Direksi BUMN.
‎
Ada celah rawan memanfaatkan situasi terhadap pejabat baru oleh pihak-pihak yang tidak beritikad baik.‎
Untuk memproses permohonan tersebut , sesuai ketentuan,  maka  Dirjen membentuk tim teknis yang mengevaluasi semua kewajiban PT Freeport Indonesia selama beroperasi. Antara lain menyangkut ketaatannya dalam menjalankan pengelolaan lingkungan soal baku mutu kualitas air dan udara, ketaatan menyelesaikan semua kewajiban kepada negara menyangkut pajak, royalti.
Iuran tetap sebagai penerimaan Negara setahun terakhir harus sudah dilunasi serta juga bagainana tingkat kemajuan proses pembangunan pabrik pemurnian (smelter)  dan kewajiban menempatkan jaminan keseriusan  membangunnya.
Hasil evaluasi final tim teknis atas verifikasi data data tersebutlah disampaikan kepada Dirjen Minerba sebagai dasar pengambilan keputusan apakah layak diberikan rekomendasi ekspor atau ditolak.
Faktanya Dirjen malah meningkatkan volume ekspor dari 1,04 juta metric ton menjadi 1, 4 juta metric ton (perpanjangan ke 4).
Atas dasar itulah tentu Dirjen Minerba harus membuka ke publik semua hasil kerja tim teknis menyangkut semua kewajiban kewajiban PT Freeport  yang sudah dipenuhi semua sesuai item disebut di atas.
Termasuk penempatan jaminan kesungguhan pembangunan smelter sebesar sekitar USD 120 juta dan sudah berapa persen pembobotan kemajuan kerjanya, sehingga tidak membuat publik terus bertanya apakah kasus minta saham masih berlanjut sampai saat ini, atau bahkan dapat dicurigai juga sudah bermetamorfosa menjadi “papa dapat saham”.
‎
Sehingga BPK RI harus mengaudit detail semua proses kerja Tim Tehnis Ditjen Minerba.
Lebih lanjut, keanehan lain dari Permen ESDM nomor 5 tahun 2016  ini tidak mengamodir aturan yang bisa mengamankan potensi penerimaan negara lebih besar atas ketidakseriusan PT Freeport Indonesia melakukan kewajiban divestasi saham sebesar 10 , 64 persen  dari sejumlah 51 persen dan seterusnya sesuai ketentuan UU Minerba nomor 4 tahun 2009.
‎
Desakan pertanyaan atas keterbukaan informasi itu harus dipahami jangan sampai publik mencurigai pembentukan Peraturan Menteri ESDM nomor 5 tahun 2016 hanya tujuannya lebih mementingkan PT Freeport Indonesia ketimbang demi kepentingan nasional.‎
Penjelasan secara transparan dan akuntabilitas sudah menjadi kebutuhan mendesak untuk merubah kesan kuat dalam benak publik bahwa pengelolaan sumber daya alam ini merupakan ladangnya perampokan oleh mafia.‎
Apalagi selama ini pembuatan Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri ESDM yang terbaru ini merupakan turunan UU Minerba nomor 4 tahun 2009 dan terkesan kuat lebih hanya ingin menyelamatkan PT Freeport Indonesia dan mengancam program hilirisasi mineral berharga daripada kepentingan nasional.
‎
Publik akan terus memantau sikap Pemerintah dan DPR dalam revisi UU Minerba mau dibawa kemana arah tujuannya, apakah semakin mendekat atau menjauh dari roh isi pasal 33 UUD 1945.
‎Oleh Pemerhati Kebijakan Energi, Yusri Usman