Artikel ini ditulis oleh Syafril Sjofyan, Pemerhati Kebijakan Publik, Aktivis 77-78, Sekjen APPTNI.
Salah satu bom waktu yang ditinggalkan Jokowi adalah utang. Ditimbun secara ugal-ugalan. Sekarang Prabowo menaikkan pajak (PPN 12 persen). Ditengah kondisi ekonomi Indonesia yang merosot. Tujuannya untuk tambahan penerimaan negara. Tujuan lainnya untuk mengurangi ketergantungan pada utang atau bunga pinjaman, yang akan jatuh tempo ditahun 2025. Besarannya luar biasa 800 triliun.
Namun menaikan pajak dalam kondisi Ekonomi yang sangat merosot berbahaya, seperti yang telah diingatkan oleh Begawan ekonomi almarhum Dr. Rizal Ramli “..kala ekonomi melambat, justru perlu dipompa dan dilonggarkan, jangan kejar pajak..” .
Ketika ekonomi sedang melemah, pengurangan konsumsi dan investasi akibat kenaikan pajak dapat memperlambat pemulihan ekonomi, malah memperparah Resesi.
Usaha kecil dan menengah lebih rentan terhadap fluktuasi ekonomi bisa semakin tertekan, menyebabkan potensi kebangkrutan atau pemutusan hubungan kerja (PHK), meningkatkan tekanan pada UMKM. Bahkan akan memperparah dan memperbanyak keruntuhan usaha besar seperti Duniatex, Sritex yang sudah pailit, termasuk 60 perusahaan tutup, sudah melakukan PHK sebanyak 250.000 karyawan.
Beban kenaikan pajak secara langsung menjadi beban pada konsumsi dan investasi. Karena mengurangi daya beli masyarakat karena pendapatan yang tersedia untuk konsumsi menurun. Dunia usaha mungkin menahan investasi karena biaya operasional meningkat akibat pajak yang lebih tinggi.
Selanjutnya akan meningkat ketidakpuasan sosial terhadap pemerintahan Prabowo. Masyarakat akan terbebani oleh kebijakan ini, yang berakibat terhadap kenaikan harga-harga, rakyat semakin menderita ulah bom waktu utang Jokowi/ Sri Mulyani.
Betul, Pemerintah Prabowo telah melakukan kebijakan insentif dengan menaikan gaji guru, buruh, juga kebijakan akan memutihkan beban kredit utang macet usahan kecil dan menengah, namun semua tidak ada artinya jika kenaikan pajak dilakukan ditengah kondisi ekonomi lagi sulit. Selain menaikan pajak akan ada langkah kebijakan lanjutan diantaranya, opsen pajak kendaraan, Kenaikan BPJS, Uang Kuliah, Perubahan Subsidi energy. Semuanya membebani masyarakat.
Prabowo masih “terjebak” pada cara Jokowi, dengan memakai Menteri Keuangan Sri Mulyani, dengan gaya “style kuno” cara gampang dan praktis, naikan pajak, kurangi subsidi. Sehingga dimasa Jokowi selama 10 tahun pertumbuhan stag 5 persen alias tidak tumbuh, sementara utang ditimbun bejibun. Tanpa adanya kenaikan pertumbuhan ekonomi secara signifikan
Seharusnya dalam kondisi ekonomi yang merosot, kebijakan pajak harus dirancang dengan hati-hati agar tidak memperburuk situasi, fokus pada reformasi perpajakan, seperti menutup celah penghindaran pajak atau meningkatkan efisiensi penagihan pajak. Seperti biasa SMI tutup mata terhadap pendapatan usaha lain dari para konglomerat.
Sebaiknya Prabowo berpikir ulang dan segera bertindak untuk mengganti Sri Mulyani dan Airlangga yang pro konglomerasi, jika ingin pidato pelantikannya pro rakyat tidak sekedar omong kosong.
Bandung, 21 Desember 2024
[***]