KedaiPena.Com – Mahkamah Agung (MA) pada akhirnya mengabulkan gugatan Peraturan KPU No 20 tahun 2018 yang melarang mantan koruptor menjadi calon anggota legislatif, Jumat kemarin.
Keputusan ini akhirnya membuat para caleg yang pernah bermasalah dengan urusan korupsi bisa kembali nyaleg.
Pengamat Sosial Politik dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedillah Badrun menilai keputusan MA tersebut telah bertentangan dengan Pasal 240 ayat 1 huruf g UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 71/PUU-XIV/2016.
“Dengan putusan itu maka caleg mantan koruptor boleh menjadi calon anggota DPD dan DPR RI. Ini musibah untuk Indonesia. Institusi penegak hukum tertinggi telah membuat sejarah duka mengubur moralitas dalam berbangsa dan bernegara,†ujar Ubed kepada wartawan, Sabtu (15/9/2018).
Ubed melanjutkan, MA sebagai garda terakhir untuk menyelesaikan persoalan ini telah mengabaikan moralitas sekaligus mengabaikan rasionalitas publik. Ubed menegaskan bahwa rasionalitas publik sesungguhnya sudah muak dengan para koruptor, tapi MA mengabaikan suara hati rakyat banyak ini.
“Bukankan dalam moralitas hukum ada prinsip salus populi suprema lex esto? suara rakyat banyak adalah hukum tertinggi. MA mengabaikan ini,†sindir Ubed.
Ubed juga menjelaskan, dengan keputusan ini, MA seperti tidak mempertimbangkan akan adanya efek berbahaya, yaitu efek pada cara pandang publik yang terkonstruksi. Ubed menerangkan, akan muncul pandangan di masyarakat bahwa korupsi itu tidak apa-apa sebab masih bisa nyaleg DPRD dan DPR RI.
“Ini efek paling menyedihkan untuk negeri yang seharusnya memerangi korupsi tetapi justru membuka pintu terbuka bagi mantan koruptor untuk melenggang ke senayan,†kata Ubed lagi.
Ubed menambahkan, duka juga makin mendalam karena Presiden, Ketua DPR, dan elit politik lainya juga cenderung diam. Padahal solusi terbaiknya sangat sederhana yaitu DPR bersama pemerintah lakukan revisi Pasal 240 ayat 1 huruf g UU Nomor 7 Tahun 2017.
“Sumber persoalanya memang ada di Pasal 240 ayat 1 huruf g UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang dibuat DPR bersama pemerintah. Tapi diamnya elit ini menggambarkan betapa kronisnya penyakit moral politik negeri ini,†pungkas Ubed.
Respon KPU
Keputusan pengabulan gugatan tersebut sendiri didasari Peraturan MA Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil.
Dalam Pasal 8 ayat 2 disebutkan, “Jika dalam 90 hari setelah putusan MA tersebut dikirim ke Badan atau Pejabat Usaha Tata Negara, yang mengeluarkan peraturan perundang-undangan tersebu, maka  ternyata Pejabat tersebut tidak melaksanakan kewajibannya, demi hukum peraturan perundang-undangan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukumâ€.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) sendiri merespon keputusan MA. Komisioner KPU Pramono Ubaid Tanthowi mengatakan akan menandai nama eks napi korupsi dalam surat suara.
“Kami pertimbangkanlah napi korupsi ditandai di surat suara, itu jadi opsi nanti,” ujar Komisioner KPU Pramono Ubaid Tanthowi.
Pramono mengatakan KPU berupaya menyodorkan nama bacaleg yang tidak berstatus mantan narapidana, di antaranya eks napi korupsi, pelaku kekerasan seksual terhadap anak, dan bandar narkoba.
“Segala hal (cara), pemilih kita disodori dengan nama-nama bersih dari 3 kasus seperti itu,” kata Pramono.
Pramono mengatakan penandaan ini menjadi pertimbangan KPU. Hal ini, menurutnya, sesuai dengan saran yang pernah diberikan Wakil Presiden Jusuf Kalla.
“Sebagaimana saran Pak JK, Pak JK pernah mengusulkan itu,” kata Pramono.
Selain itu, KPUÂ juga akan meminta parpol-parpol menarik bacaleg eks koruptor. Sebab, menurut KPU, parpol berhak menarik bacalegnya yang pernah menjadi narapidana kasus korupsi.
“Katakanlah, misalnya, MA mengabulkan uji materi PKPU itu, tapi kita minta partai-partai politik komitmen untuk menarik caleg-calegnya yang tidak memenuhi syarat oleh KPU,” kata Pramono.
“Secara legal diperbolehkan oleh MA, tapi secara etis partai-partai di internal mereka berhak mengatur caleg mantan koruptor tidak didaftarkan,” sambungnya.
Menurutnya, beberapa partai telah mengkonfirmasi akan menarik bacalegnya yang bermasalah. Pramono mengatakan ini merupakan hal yang positif untuk mewujudkan keberadaan caleg yang berkualitas.
Laporan: Muhammad Hafidh