SIDANG Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memeriksa gugatan pasangan Prabowo-Sandi baru mulai dan akan berakhir dua minggu kemudian.
Pembacaan gugatan oleh Tim Hukum kuasa Prabowo-Sandi yang dipimpin Bambang Wijayanto mendapat pujian.
Prof Mahfud mantan Ketua MK menyebutnya dengan ungkapan “cerdik” karena menekankan pada argumen kualitatif dari fakta dan analisa kecurangan Pemilu oleh KPU dan Paslon 01 serta lainmya.
Tidak fokus pada angka-angka karena MK bukan “Mahkamah Kalkulator”. Dalil yang dapat menjadi terobosan menantang untuk dipertimbangkan seksama oleh Hakim Konstitusi yang dalam pembukaan sidang menyatakan “dilihat bukan saja oleh dunia tetapi Allah SWT”.
Menurut UU 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (dengan perubahan No 8 tahun 2011) Pasal 10 menyatakan bahwa MK mengadili untuk tingkat pertama dan terakhir dan keputusan bersifat final.
Termasuk di dalamnya putusan perselisihan hasil Pemilu (Pasal 10 butir d). Nah dalam kaitan dengan Pemilu tentu selesai atau final. Akan tetapi sebagai proses politik, nampaknya ini yang belum final. Kedua pasangan melihat MK adalah tahapan. Masih “tersimpan” buntut yang bisa pendek atau panjang dari agenda masing masing.
Peristiwa 21-22 Mei bagi para pihak menjadi “batu loncatan” yang berdampak.
Jika Jokowi yang menang dari sisi kepentingannya maka perlawanan pendukung Prabowo harus “dihabisi”. Isu makar yang dipublikasi pasca tragedi 21-22 Mei menjadi saluran strategis.
Penangkapan Kivlan Zein, Soenarko sampai keterlibatan mantan Tim Mawar diangkat ke permukaan. Isu Prabowo akan ditangkap pun muncul dan tersiar.
Awalnya soal rencana pembunuhan empat jenderal yang dilansir oleh Kapolri. Bahkan meninggal tertembaknya peserta aksi kemudiannya diumumkan seluruhnya adalah “perusuh”.
Soal korban tidak menjadi perhatian. Isu bergeser pada dalang kerusuhan dengan target politik tertentu.
Pemerintah Jokowi sangat mungkin menggelindingkan dan mengembangkan ini sebagai manuver lanjutan. Sambil memproteksi kelemahan.
Jika Prabowo menang, ataupun dikalahkan MK, maka perlawanan atau penghukuman atas “dosa rezim” terus berjalan. Aksi 21-22 adalah damai. Kerusuhan adalah momen dan pelaku lain.
Kepolisian, Moeldoko, dan Wiranto menegaskan pula, tewasnya 9 orang yang diumumkan resmi dan penanganan kerusuhan oleh aparat adalah pelanggaran HAM berat. Persoalan meluas ke tingkat internasional.
Meninggalnya hampir 700-an petugas Pemilu dan sakitnya 11 ribuan yang “tertutup akses” penyelidikan menjadi masalah berkelanjutan. Pemilu 2019 adalah “Pemilu berdarah”.
Dalil kualitatif yang dibacakan Tim Hukum Prabowo Sandi dalam gugatan MK merupakan “bola panas” untuk rezim Jokowi kini dan ke depan. Kecurangan telah menjadi pencitraan serius.
Sinyalemen dari mulai tak terpenuhi syarat cawapres Ma’ruf Amin, penggunaan fasilitas kenegaraan, penyimpangan dana kampanye, pembagian uang dan sembako, hingga pengerahan aparat pemerintahan, keamanan dan intelijen dilempar.
Petitum diskualifikasi adalah gaung gong yang menggema. Kemenangan pun “cacat politik” jika Prabowo dikalahkan MK.
Sebaliknya jika Prabowo menang maka cacat politik ini juga harus diselesaikan sebelum dibangun konsensus baru.
Ini semua menggambarkan bahwa MK adalah tahapan yang “final” tapi “belum final”. Masalah politik di penghujung jabatan pertama Jokowi ini cukup krusial. Faktor utamanya adalah terlalu banyak pihak yang berkepentingan dengan profil sang Presiden.
Pilihan ke depan adalah “semakin represif” tindakan pemerintahan Jokowi kepada oposisi atau memang Jokowi jatuh dan tidak lagi memimpin pemerintahan.
Atau justru karena represif maka Jokowi Jatuh.
Oleh M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik, Tinggal di Bandung