Artikel ini ditulis oleh Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies).
Pernyataan La Nyalla, Ketua DPD RI, membuat banyak pihak tidak nyaman. Dalam pidato di Musyawarah Nasional HIPMI (Himpunan Pengusaha Muda Indonesia), La Nyalla membuat pernyataan Indonesia harus kembali ke UUD 1945 asli.
Pernyataan ini dilanjutkan dengan kalimat yang membuat banyak pihak tersentak. Terkait usulan perpanjangan masa jabatan presiden, seakan-akan sebagai ‘hadiah’ atas dekrit kembali ke UUD 1945 asli.
Apa La Nyalla ‘masuk angin’? Begitu pertanyaan publik. Atau pernyataan publik?
La Nyalla memang mempunyai kedudukan tinggi dan terhormat di Republik ini, sebagai Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Tetapi, jabatan tinggi ini tidak ada pengaruh politik. DPD bukan pembuat undang-undang (UU), tidak ikut mengesahkan UU. Paling banter cuma diminta pendapatnya saja, mungkin juga hanya sebagai formalitas.
DPD hanya diminta menampung aspirasi daerah, untuk disalurkan ke DPR atau MPR.
Maka itu, secara politik, La Nyalla hampir sama dengan rakyat biasa. Bedanya, La Nyalla bisa komunikasi dengan semua lembaga negara. Cuma itu saja kelebihannya.
Maka itu, pernyataan La Nyalla mengenai perpanjangan masa jabatan presiden, secara politik, tidak ada artinya, nihil: zero.
Lain halnya kalau yang menyuarakan perpanjangan masa jabatan presiden adalah ketua partai politik. Mereka ini penentu keputusan politik di parlemen. Mereka bisa mengubah UU, mereka bisa minta diadakan sidang MPR, dan bisa mengubah konstitusi.
Mungkin saja pernyataan La Nyalla karena frustrasi melihat elit politik saat ini yang hanya mementingkan kelompoknya saja, frustrasi melihat bangsa ini dikuasai oligarki dalam menentukan presiden dan wakil presiden, hingga kepala daerah. Frustrasi melihat Mahkamah Konstitusi (MK) cenderung menjadi alat kekuasaan, frustrasi melihat gugatan Presidential Threshold 20 persen dikandaskan MK.
Begitu frustrasinya sampai keluar kalimat mau perpanjang masa jabatan presiden silakan saja.
Apakah pernyataan ini sebagai jebakan kepada Jokowi, karena saking frustrasi dan jengkelnya? Karena, kalau itu sampai diikuti, La Nyalla tahu rakyat pasti marah, bisa memicu perlawanan rakyat di jalanan?
Apakah seperti itu? Hanya La Nyalla yang tahu.
[***]