KedaiPena.Com- PT Bank Perusahaan Negara (persero) Tbk atau BNI tengah menjadi sorotan lantaran diduga memberikan pinjaman tanpa agunan kepada salah satu perusahaan batu bara di Sumatera Selatan. Pinjaman tanpa agunan yang dilakukan bank perusahaan plat merah tersebut dikhawatirkan menyebabkan kredit macet.
Sejumlah pihak menilai pinjaman bila pinjaman tanpa agunan tersebut menjadi kredit macet maka bisa dikategorikan tindak pidana korupsi. Ada dua syarat disebut tindak pidana korupsi, pertama pinjaman macet dan kedua bank BUMN bukan swasta.
Eks Pimpinan KPK Haryono Umar mengingatkan pentingnya, setiap perbankan menerapkan governance, risk manegement and compliance (GRC) dalam memberikan pinjaman kepada perusahaan.
“GRC praktiknya sudah baiknya sebetulnya, selama ini sudah dilakukan bagaimana dia mengetahui dan mencari tahu siapa orang yang mau meminjam ini. Kemudian bagaimana apakah nanti dia membayar (pinjaman) menggunakan uang yang bersih atau uang dari hasil kejahatan,” kata Haryono, Senin,(30/5/2022).
Haryono melanjutkan, setiap perbankan harus mengikuti SOP berlaku dalam memberikan pinjaman kepada perusahaan. Pasalnya, penerapan SOP diperlukan guna mencegah celah permainan antara oknum di perbankan dengan nasabah.
“Karena sering sekali kasus-kasus pegawai bank sendiri yang bermain dengan nasabah,” tegas Haryono.
Haryono menekankan, setiap perbankan harus dapat mengetahui resiko dalam memberikan pinjaman kepada perusahaan.
“Setiap bank juga harus membuat perhitungan kemungkinan dia rugi (ketika memberikan pinjaman), walaupun dia itu lancar pembayaran dari nilai umur perusahaan tersebut. Jadi umpamanya ini tidak tertagih, kerugian tidak (ketahuan) diakhir,” imbuh Haryono.
“Lalu, komisaris, pemilik bank hingga pemegang saham, pemerintahan itu juga mengetahui ada yang beresiko. Jadi jangan sampai terjadi seperti Asabri dan Jiwasraya, kerugian besar baru ketahuan diakhir-akhir,” ungkap Haryono.
Haryono menambahkan, perbankan juga harus patuh kepada setiap peraturan perundang-undangan. Haryono menegaskan, perbankan khususnya perusahaan plat merah harus patuh kepada aturan pemilik yakni Kementerian Keuangan dan BUMN.
“Bank harus patuh ke peraturan perundang-undangan patuh terhadap SOP patuh terhadap aturan aturan dari pemilik atau ownernya dari kementerian keuangan dan BUMN dan patuh juga terhadap yang mengawasinya seperti OJK atau lainnya,” jelas Karyono.
Haryono menerangkan, sejumlah hal tersebut harus dilakukan sebaik-baiknya dan saling terintegrasi. Termasuk, kata Haryono, dalam hal ini pengawasan ketika memberikan pinjaman.
“Jangan lupa pengawasan merupakan kunci yang sangat penting yang dilakukan oleh pengawasan auditor. Jangan sampai ketika auditor mengaudit, dia (auditor) tidak melihat adanya kemungkinan potensi terjadinya penyimpangan,” pungkas Haryono.
Sebelumnya, Koordinator Masyarakat Anti Korupsi (MAKI) menuding pencairan dana triliunan bank BUMN termasuk BNI tanpa agunan atau agunannya tidak sepadan dengan pinjaman.
Boyamin mengatakan pinjaman tanpa agunan itu akhirnya jadi kredit macet dan bisa dikategorikan tindak pidana korupsi meskipun masih ada dua syarat supaya bisa disebut begitu.
Dua syarat tersebut, kata Boyamin, pertama, pinjaman macet dan kemudian pengusahanya tidak berupaya melunasi utangnya.
Sedangkan yang kedua, banknya harus Bank BUMN. Kalau, bank swasta maka tidak bisa disebut sebagai tindakan korupsi.
Sementara itu, Corporate Secretary BNI, Mucharom tidak bisa menjawab soal pendanaan terhadap grup perusahaan BG di Sumatera Selatan. Namun pihaknya mengakui bahwa proses pemberian dana telah melalui serangkaian proses yang mengedepankan prinsip good corporate governance dan compliance terhadap ketentuan regulator demi memberikan kenyamanan dan keamanan kepada para nasabah maupun debitur. Sehingga seluruh aturan baik internal maupun eksternal terpenuhi.
“Bagaimanapun kita harus realistis, energi fosil masih dibutuhkan masyarakat Indonesia. Adapun, penyaluran kredit kepada sektor batu bara hanya 2 persen terhadap total kredit BNI. Secara umum kredit kepada sektor batubara sampai dengan ini dalam posisi lancar,” kata Mucharom saat dikonfirmasi.
Ia pun membeberkan jika sejak Januari hingga Maret 2022, BNI cukup agresif mengucurkan pembiayaan ke sektor energi baru terbarukan (EBT) senilai Rp 10,3 triliun, berikutnya, pembiayaan untuk pencegahan polusi senilai Rp 6,8 triliun, dan pembiayaan hijau lainnya Rp 23,3 triliun.
Laporan: Hera Irawan