ALEXANDER the Great dikenang sebagai satu dari komandan perang terbesar sepanjang sejarah. Suatu ketika ia berbicara mengenai pemimpin.
Ujar Alexander, saya tak takut pada gerombolan singa yang dipimpin oleh seekor domba. Saya jauh lebih takut pada gerombolan domba tapi dipimpin oleh seekor singa.
Pemimpin adalah sesuatu. Bahkan segerombolan domba bisa jauh lebih menakutkan dibandingkan segerombolan singa. Itu jika pemimpin domba adalah singa.
Akan menjadi problem jika sang singa itu tak menyadari bahwa ia memimpin segerombolan domba. Ia tak membuka hati dan tidak hidup dalam batin para domba. Akibatnya sang singa bukan saja ditinggal para domba. Bisa jadi singa itu dimangsa sekawanan domba yang dipimpinnya sendiri.
Kiasan ini cukup tepat mewakili kasus Ahok kini. Blunder Ahok karena ia tidak mengenali betul batin dan psiko publik yang ia pimpin. Ia tidak hidup atau tak peduli getaran batin mayoritas komunitas yang dipimpinnya. Akibatnya Ahok dikalahkan dua kali.
Pertama, Ahok dikalahkan oleh rakyat yang ia pimpin sendiri dalam pilkada. Kedua, ia dikalahkan oleh para hakim di pengadilan.
Saya simak lagi dan lagi basis putusan hakim ketika menyatakan Ahok bersalah. Ujar Hakim, Ahok terbukti secara meyakinkan melukai perasaan umat Islam, mengganggu kerukunan beragama, dan tidak merasa bersalah.
Hakimpun menjatuhkan hukuman lebih tinggi daripada yang dituntut jaksa.
Ini sebuah ironi. Lebih 70 persen publik Jakarta puas dengan kinerja Ahok. Mayoritas penduduk Jakarta menganggap ia gubernur yang berhasil jika semata dilihat dari programnya.
Kali dan sungai bersih. Kota sangat tertata. Ia berani melawan mafia.
Dalam sejarah pilkada, 70 persen publik yang puas biasanya akan membuat sang pemimpin terpilih kembali. Untuk kasus Ahok, hal itu ternyata tidak terjadi.
Mayoritas pemilih puas dengan kinerja Ahok. Tapi mayoritas pula yang meninggalkan Ahok. Apa yang salah?
Ini dua hal penting yang harus diketahui oleh pemimpin lain agar kasus Ahok tak terulang. Katakanlah ini semacam “lesson to learn” dari kasus Ahok. Atau hikmah yang bisa kita petik dari kasus Ahok.
Pertama, goresan agama dalam publik Jakarta, juga Indonesia sangat mendalam. Mayoritas mereka sebenarnya bukanlah penganut yang sangat patuh pada ritual agama. Mayoritas mereka juga bahkan melawan konsep negara agama.
Tapi sekali tersentuh rasa keagamaan mereka, apalagi ada persepsi agama mereka diciderai oleh pihak luar, muncul spirit perlawanan yang menisbikan hal lain.
Mereka tak peduli sebagus apapun kerja gubernur. Sentimen agama mereka bekerja lebih dalam dan lebih powerful. Mereka akan bergerak militan mengalahkan pemimpin lamanya.
Kedua, pentingnya public relation. Pemimpin harus lebih berhati-hati dengan komentarnya di publik. Kesan publik pada kata kata sang pemimpin bisa lebih dalam ketimbang kesan pada kinerjanya.
Pemimpin harus lebih peduli dengan public relation. Cover buku bagi publik luas kadang lebih berarti ketimbang isi bukunya.
Pentingnya public relation juga dikiaskan oleh Bill Gates, manusia yang kini paling kaya seantero jagad. Ujar Bill Gates, jika uangku tinggal satu dolar, uang itupun akan aku habiskan untuk public relation.
Hanya karena ucapan Ahok yang seolah sepele di Pulau seribu, mengubah banyak hal. Bagi pemilih ucapan itu menjadi sentimen mereka mengalahkan Ahok di pilkada. Bagi hakim ucapan itu membuatnya tak sungkan menjatuhkan vonis dua tahun penjara.
Bahkan hakim memberikan penekanan khusus “Ahok tak merasa bersalah.” Tak ada kebutuhan PR Ahok untuk mengesankan merasa bersalah. Ini oleh hakim justru dijadikan bahan memperberat hukuman Ahok.
Ucapan itu pula membatalkan peluang Ahok yang mungkin akan mengubah Jakarta lebih dahsyat lagi jika ia terpilih sebagai gubernur kembali, dan tidak dihukum.
Begitu banyak hal penting yang terbuang hanya karena buruknya public relation sang pemimpin. Begitu banyak hal utama yang tak jadi diraih jika singa tak mengenali sekawanan domba yang dipimpinnya.
Dengan vonis hakim di pengadilan, saatnya kita tutup kegaduhan Jakarta. Kita buka bab baru sambil mengenang pentingnya pemimpin peka dan positif terhadap sentimen agama masyarakat. Dan pentingnya pemimpin peduli pada public relation.
Sekawanan domba memang akan lebih powerful jika dipimpin singa. Dan sang singa akan dicintai kawanan domba jika bisa ia mengambil hati mereka.
Oleh Denny JA, Pendiri Lingkaran Survei Indonesia (LSI)