KedaiPena.com – Upaya pemerintah mensiasati masalah harga minyak goreng yang melambung tinggi, dianggap tak tepat sasaran dan tak menyelesaikan inti permasalahan. Bahkan, indikasi yang terlihat, pemerintah seperti berupaya mensubsidi para kartel industri sawit dan minyak goreng.
Direktur Eksekutif IDEAS Yusuf Wibisono mengungkapkan Bantuan Langsung Tunai (BLT) Minyak Goreng yang ditetapkan pemerintah merupakan bentuk intervensi paling tradisional, yaitu sekedar bagi-bagi uang belaka.
“Sudah begitu, inipun seringkali tidak mampu dilakukan dengan baik oleh pemerintah terkait kompleksitas pelaksanaan program dimana hingga kini exclusion error dan inclusion error dalam kebijakan BLT ini masih tinggi, belum termasuk kasus korupsi yang sering menyertainya,” kata Yusuf saat dihubungi, Jumat (8/4/2022).
Dalam kasus BLT Minyak Goreng misalnya, yang digunakan adalah basis data program PKH dan BPNT, padahal yang terdampak keras lonjakan harga minyak goreng ini tidak hanya rumah tangga miskin tetapi juga jutaan usaha mikro dan ultra mikro.
“Kalau kita misalkan, seperti tukang gorengan, yang kita tidak tahu bagaimana pemerintah akan menjangkau mereka. Belum tentu juga mereka masuk ke dalam daftar tapi mereka sebenarnya terdampak,” ucapnya.
Yusuf menyatakan kebijakan BLT Migor ini adalah kebijakan yang menyedihkan. Karena kebijakan ini adalah bentuk kekalahan pemerintah dari oligarki penguasa industri untuk yang ke-sekian, setelah sebelumnya menyerah dengan melepas harga minyak goreng ke harga pasar.
“Dengan memberi BLT Migor ke rakyat miskin secara tidak langsung pemerintah mensubsidi kartel penguasa industri sawit dan minyak goreng sehingga harga jual tinggi yang ditetapkan pengusaha mampu dijangkau oleh masyarakat,” ucapnya lagi.
Ia juga menyatakan bahwa BLT Migor ini adalah bentuk lari dari kenyataan dari pemerintah akibat tidak mampu menyelesaikan akar masalah di industri minyak goreng dan sawit.
“Kegagalan dan ketidakmampuan pemerintah ini harus dibayar oleh subsidi negara yang harus ditanggung APBN. Dan, BLT minyak goreng ini bersifat temporer, jangka pendek, hanya pereda sementara dari kesulitan masyarakat, sedangkan dampak pelepasan harga minyak goreng ke harga pasar bersifat permanen,” kata Yusuf.
Yang dibutuhkan, lanjutnya, adalah kebijakan yang bersifat struktural dengan dampak jangka panjang, yaitu mengurai akar masalah kartel dan struktur industri yang tidak sehat di industri minyak goreng dan sawit.
“Misal, konsesi lahan sawit baru ke swasta selayaknya dihentikan, dan dievaluasi, dicabut hak konsesi bagi yang melanggar dan diberikan ke BUMN Perkebunan Sawit dan koperasi pekebun sawit rakyat,” ujarnya.
Yusuf juga menegaskan negara seharusnya memiliki kontrol yang memadai di hulu, yaitu pasokan sawit untuk domestik. Dan pemerintah selayaknya juga segera mendorong pembentukan koperasi-koperasi pekebun sawit rakyat yang mampu mengolah sawit menjadi CPO dan minyak goreng skala UMKM. Pemerintah juga harus melindungi pabrik minyak goreng independen (non pemilik perkebunan sawit) dengan menjamin pasokan CPO bagi mereka.
“Kita berharap pemerintah tidak lepas tangan dari masalah minyak goreng ini dengan hanya sekedar melempar BLT untuk 3 bulan,” pungkasnya.
Laporan: Natasha