AJARAN kearifan masyarakat Baduy berakar dari Amanat Buyut. Berikut di antaranya ajaran itu;
Gunung Teu MeunangDilebur = Gunung Tak Boleh Dihancurkan
Lebak Teu Meunang Dirusak = Lembah Tak Boleh Dirusak
Larangan TeuMeunang Dirempak = Larangan Tak Boleh Dilanggar
Buyut Teu Meunang Dirobah = Buyut Tak Boleh Dirubah
Lojor Teu Meunang Dipotong = Panjang Tak Boleh Dipotong
Pondok Teu Meunang Disambung = Pendek Tak Boleh Disambung
Nu Lain Kudu Dilainken = Yang Bukan Harus Ditiadakan
Nu Ulah Kudu Diulahkeun = Yang Jangan Harus Dinafikan
Nu Enya Kudu Dienyakeun = Yang Benar Harus Dibenarkan
(Dapat dilihat dalam buku “Saatnya Baduy Bicaraâ€)
Demikian luhurnya kearifan falsafah hidup masyarakat Baduy dalam berkehidupan keseharian yang begitu dekat dengan alam. Tak terpisahkan hubungan antara manusia dengan bumi, bumi tempat mereka hidup-dihidupi-menghidupi.
Terkait dengan rencana eksplorasi Blok Rangkas yang kemungkinan berada di sekitar wilayah masyarakat Baduy, kiranya Amanat Buyut jauh-jauh hari sudah disampaikan berupa petuah; “Gunung Teu Meunang Dilebur, Lebak Teu Meunang Dirusakâ€. Falsafah hidup menghargai dan menjaga kelestarian alam yang diamanatkan oleh leluhur ini jelas memberikan wejangan dan peringatan bagi kita untuk tidak menghancurkan gunung dan lembah jangan sampai dirusak.
Hal ini juga dapat dijadikan resep untuk hidup selamat. Bahwa dalam memahami dan menjalani hukum adat tidak bisa tidak, harus sesuai dengan ketentuan adat yang telah lestari, dan sejak awal kehidupan telah diterapkan oleh leluhur masyarakat adat Baduy, tidak bisadikurangi-tidak dapat ditambahkan, berjalan apa adanya, “Lojor Teu Meunang Dipotong, Pondok Teu Meunang Disambungâ€.
Kedudukan Masyarakat Adat dan Hukum Adat
Hukum Adat Baduy merupakan hukum tidak tertulis (lisan) namun kelestariannya tetap terjaga dengan budaya pitutur yang disampaikan oleh leluhur, tetua adat kepada orang-orang pilihan dan masyarakat adat dalam waktu-waktu tertentu, hukum yang berlandaskan interaksi dengan alam sekitarnya.
Ferry Faturokhman seorang akademisi dari UNTIRTA yang telah melakukan penelitian Hukum Adat Baduy memaparkan bahwa pada prinsipnya larangan-larangan pada masyarakat Baduy dilandaskan pada filosofi dasar Baduy, ‘Lojor Teu Meunang Dipotong, Pondok Teu Meunang Disambung (Panjang Tak Boleh Dipotong, Pendek Tak Boleh Disambung)’.
Menurut Jaro Dainah, konsep dasar ajaran di Baduy tersebut adalah keseimbangan alam, kelestarian alam, maka dengan demikian Baduy mempunyai kewajiban untuk melestarikan alam dan tidak menentang hukum alam.
Konsep dasar ini yang kemudian diimplementasikan dalam seluruh sendi kehidupan masyarakat Baduy termasuk dalam berhukum. Dengan konsep ini kehidupan keseharian masyarakat Baduy dalam berinteraksi dengan alam sedapat mungkin tidak merusak alam. Dalam pembuatan rumah misalnya, tanah yang menjadi landasan tidak digali ataupun diratakan. Sekiranya kontur tanah tersebut tidak rata maka yang menyesuaikan adalah panjang pendeknya batu dan kayu yang menjadi pondasi dan tiang utama.
Hal serupa juga berlaku dalam menanam padi, masyarakat Baduy tidak mengolah tanah menjadi sawah, namun mereka menanam padi huma/gogo sehingga tanah tidak perlu dibajak/diolah seperti sawah pada umumnya. (Hukum Pidana Adat Baduy dan Relevansinya Dalam Pembaharuan Hukum Pidana, Ferry Faturokhman, Thesis Magister Ilmu Hukum UNDIP, 2010)
Celakanya daerah eksplorasi bisa jadi masuk ke dalam wilayah yang paling disakralkan oleh Warga Baduy, yaitu Hutan Salakadomas yang juga menjadi pusat ritual bagi Warga Baduy, tentu hal ini akan sangat merugikan Warga Baduy yang akan berpengaruh kepada semua dimensi tatanan religi, sosial, kultur dan ekosistem alam Baduy.
Oleh Aliyth Prakarsa, akademisi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) Serang