SEMOGA kita semua belum lupa, sekitar 4,5 tahun yang lalu (akhir 2015 hingga awal 2016) pernah terjadi debat dan polemik yang bermutu di ruang publik. Disebut bermutu sebab ini adalah debat dan polemik yang menyangkut hajat hidup orang banyak di Indonesia, yaitu tentang pengelolaan Blok Masela yang yang sangat kaya dengan gas alam.
Perdebatannya adalah apakah kilang LNG (liquified natural gas, gas alam yang sudah dicairkan) Masela akan dibangun mengapung di laut, seperti rencana pengembangan sebelumnya (POD 1) sejak tahun 2010, yang dipertahankan oleh Menteri ESDM saat itu Sudirman Said, ataukah akan dibangun di darat, seperti usulan Menko Kemaritiman saat itu Rizal Ramli.
Para pendukung pembangunan Kilang Mengapung (biasa disebut sebagai Floating LNG/FLNG) harus gigit jari. Karena setelah berbulan-bulan berdebat, mengeluarkan segala data dan argumen, mengerahkan barisan pengamat dan ekonom, dan didukung oleh media mainstream mereka seperti Tempo, Presiden Jokowi memutuskan bahwa pembangunan kilang LNG di Blok Masela tidak dilakukan mengapung di laut, tetapi harus dilakukan di darat demi mempercepat pembangunan kawasan Indonesia Timur.
Presiden Jokowi pun menyetujui usulan kelompok pendukung kilang darat, yang dipimpin oleh Menko Kemaritiman saat itu Rizal Ramli yang di-back up oleh Fortuga (forum Alumni ITB Angkatan 1973). Sesuai keinginan Presiden, maka diubahlah (oleh kontraktor Inpex-Shell bersama SKK Migas) rencana pengembangan, plan of development (POD 2), Blok Masela menjadi skenario pengembangan darat pada 23 Maret 2016.
Perkembangan selanjutnya, pada bulan Oktober tahun 2018, disepakati oleh kontraktor Inpex-Shell dan SKK Migas, bahwa kapasitas produksi LNG Blok Masela naik ke 9,5 MTPA (million tons per annum/juta ton per tahun) dari rencana produksi sebelumnya 7,5 MTPA.
Karena kapasitas meningkat, terjadi juga penyesuaian biaya proyek pembangunan Kilang Darat menjadi USD 19,8 miliar, dari sebelumnya yang diestimasi oleh Rizal Ramli dan Fortuga sekitar USD 16 miliar (masih berbasis produksi 7,5 MTPA). Proyek direncanakan akan memulai produksi pada tahun 2027.
Ada pertanyaan, bagaimana seandainya Indonesia tetap mengikuti skenario pengembangan kilang mengapung (Floating LNG), berapakah kiranya besar biaya proyek pembangunannya dengan kapasitas yang meningkat ke 9,5 MTPA?
Untuk dapat menjawabnya, berikut ini adalah perkembangan terbaru dari kilang mengapung (Floating LNG) pertama di dunia di Prelude, Australia, yang juga diproduksi oleh Shell. Pada 15 Mei 2020, sebuah media Australia (https://www.boilingcold.com.au/) menyoroti bagaimana kilang mengapung yang selesai sejak tahun 2017 ini bermasalah keterlambatan (telat 1,5 tahun), tidak ramah lingkungan, bermasalah secara teknikal, dan juga sangat mahal (cost overrun).
Diberitakan, setelah memproduksi LNG sebesar separuh kapasitas kilang hingga paruh kedua 2019, kilang mengapung Prelude kini mengalami idle. Ada masalah teknis, menyusutnya cadangan gas, masalah lingkungan (bocornya gas rumah kaca), tiadanya lokal konten, dan proses keselamatan atau safety pekerja yang dikutuk oleh otoritas Australia.
Untuk membereskan masalah-masalah ini, hingga akhir 2019 Shell dan partner-nya telah menghabiskan biaya hingga USD 19,3 miliar (termasuk biaya pembangunan kilang USD 17 miliar). Biaya pembangunan kilang mengapung Prelude sebesar USD 17 miliar, untuk kapasitas produksi 3,6 MTPA, sudah jauh membengkak dari perkiraan biaya di awal yang sebesar USD 11,7 miliar.
Kita akan menggunakan angka-angka terakhir kilang mengapung Prelude sebagai pembanding untuk menghitung berapa kira-kira biaya pembangunan kilang mengapung Masela. Berkaca dari kilang mengapung Prelude, dengan kapasitas 3,6 MTPA biayanya menjadi USD 17 miliar.
Artinya, menggunakan faktor pengali (cost capacity factor) yang sama = 0,6 (untuk pabrik LNG), didapatkan untuk kilang mengpung Masela yang kapasitasnya 9,5 MTPA maka biayanya akan di sekitar USD 30 miliar.
Sangat bersyukur Indonesia tidak jadi membangun kilang mengapung di Masela. Karena kalau tidak, Negara Indonesia harus membayar USD 30 miliar, mahal sekali. Bandingkan dengan pembangunan kilang darat yang berada di USD 19,8 miliar. Ada selisih penghematan di sini sekitar USD 10,2 miliar, atau Rp 142,8 triliun.
Atas kesuksesan penghematan yang sangat besar ini, selain kepada Presiden Jokowi yang memutuskan pembangunan kilang darat pada Maret 2016 lalu, kredit setinggi-tingginya harus kita berikan kepada Rizal Ramli dan komunitas Fortuga (Kelana Budi Mulia, Iwan “Bungsu” Hignasto, Bemby Uripto, dkk) yang kala itu tidak kenal menyerah dalam berdebat dan berpolemik untuk membela kepetingan Bangsa Indonesia.
Oleh Gede Sandra, Peneliti Lingkar Studi Perjuangan (LSP). Tulisan ini dibuat dengan bantuan data dan informasi dari Dr. Haposan Napitupulu (ex Deputi BP Migas) dan Ir. Yoga Suprapto (ex Dirut LNG Bontang), keduanya juga anggota Fortuga.