Artikel ini ditulis oleh Nur Jafar Marpaung, Ketua DPP Asosiasi Pengusaha Gula dan Terigu (APEGTI) Provinsi Riau, Pengamat Pangan.
Gula-gula, oh, gula-gula
Begitu manis menggoda lidah
Meresap membahagiakan indra pengecap
Berwarna-warni dengan harum mewangi
Begitu pintarnya engkau menggoda kami untuk membeli
Tak apa saku ini jebol berkali-kali
Asalkan kami bisa menggenggammu dengan sepenuh hati
Dan kembali mengulangi cita rasa surgawi ini
Cuplikan puisi di atas tentang gula ternyata tidak seindah
bahasanya dan rasanya. Karena, berbicara tentang gula ternyata membuat kehidupan ini amat pahit.
Betapa tidak masyarakat di Indonesia kini semakin resah. Pasalnya, belum pulih kenaikan harga beras yang luar biasa, kini mereka dihantui lagi oleh meroketnya harga gula pasir. Bahan pemanis masakan dan minuman itu, ternyata kini harganya tidak semanis rasanya. Berkedok manis rasanya, namun sungguh pahit harganya. Padahal kondisi perekonomian di wilayah Nusantara ini sekarang sedang tidak baik-baik saja. Belum lagi untuk mencari lapangan kerja yang kian sulit dan semakin langka.
Harga gula yang merupakan kebutuhan pokok tidak pernah stabil. Dalam waktu satu bulan harga gula bisa naik berkali-kali. Gara-gara kenaikan gula pasir yang luar biasa ini, masyarakat jadi serba salah dan berada pada posisi sulit. Apalagi antara kenaikan pada tahap pertama dan kali kedua itu dalam tenggat waktu sangat singkat. Baru dua pekan terjadi kenaikan, kemudian naik lagi kali kedua. Jadi kalau seminggu lalu harga sekitar Rp15.000 per kilogram lalu naik menjadi Rp16.000 per kilogramnya. Belum lama setelahnya, meningkat lagi berkisar Rp17.000 per kilogram .
Harga gula konsumsi terpantau terus merangkak naik. Mekanisme pasar memperlihatkan harga gula konsumsi sudah tembus di atas Rp17.000 per kilogram. Harganya sudah di atas batas pembelian yang ditetapkan pemerintah Rp16.000 per kilogram.
Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag) harus segera mendorong percepatan impor gula untuk menjaga ketersediaan pasokan di dalam negeri. Saat ini realisasi impor gula masih baru 56 persen, sehingga berdampak pada stabilisasi harga gula dipasar. Kemendag harus segera bertindak dan segera berupa mempercepat importasinya yang masih 56 persen untuk menjaga ketersediaan gula didalam negeri.
Dalam menekan harga gula ini pemerintah nyaris tak berfungsi. Kalau pemerintah tidak ingin dicap tidak berfungsi, pemerintah harus memperingatkan importir gula yang tak merealisasikan kuota sesuai izin yang diberikan pemerintah. Bila perlu memasukkan perusahaan tersebut ke dalam daftar hitam.
Aksi perusahaan-perusahaan itu, menyebabkan impor gula yang dibuka pemerintah menjadi tak efektif menekan harga di dalam negeri. Di mana, harga gula eceran di beberapa daerah seperti di Jakarta sudah mencapai Rp18.000 per kilogram. Padahal pemerintah sudah sejak awal memberikan kuota impor.
Kalau terus seperti ini, Menteri Perdagangan harus bertindak tegas tanpa pandang bulu, harus mem blacklist perusahaan-perusahaan yang menunda-nunda untuk merealisasikan kuota impor gula yang sudah dimilikinya.
Bukan hanya perusahaanya saja yang di blacklist, tetapi juga orangnya, supaya tahu kalau mereka ganti perusahaan atau namanya kan orangnya sama, terafiliasinya sama.
Minimnya realisasi impor menyebabkan harga gula di dalam negeri tak kunjung melandai, bahkan naik terus. Dan di saat harus mengimpor, harga di negara asalnya naik. Kalau pasar dunia naik pasti harga didalam negeri ikut naik. Kondisi ini diperburuk lagi jika nilai kurs ikut bergejolak.
Dampaknya, pemerintah harus menaikkan harga acuan penjualan (HAP) gula di tingkat konsumen di pasar modern dan pasar tradisional Rp15.000 menjadi Rp16.000 per kilogram, sementara di wilayah tertinggal, terluar, terpencil, dan perbatasan menjadi Rp17.000 per kilogram.
[***]