KedaiPena.Com – Aliansi Masyarakat Adat Nasional (AMAN) Flores Barat menggelar ‘workshop‘ konsolidasi masyarakat adat penyangga Taman Wisata Alam Ruteng dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam Nusa Tenggara Timur (BKSDA NTT) untuk mendorong manajemen kolaboratif.
Kegiatan yang digelar untuk mencari solusi atas permasalahan yang sering terjadi antara masyarakat adat dengan pihak BKSDA ini berlangsung di Kampung Kilat, Desa Compang Lawi, Kecamatan Sambi Rampas, Kabupaten Manggarai Timur (14/5/2019).
Hadir dalam kegiatan ini perwakilan masyarakat adat Mamggarai Timur, anggota dan pengurus besar AMAN Jakarta dan Flores Barat, perempuan AMAN Flores Barat, pemuda adat Flores Barat serta Balai KSDA wilayah 2 Ruteng.
Kabid KSDA wilayah 2 Ruteng Heri dan Ketua BPH AMAN Ferdinandes Danse menjadi narasumber dalam kegiatan yang secara umum membahas tentang permasalahan pengelolaan sumber daya alam (SDA) dan tenurial ini.
Pihak BKSDA melaksanakan tugas lapangan berdasarkan rujukan UU No 5/1990 tentang konservasi. Aturan itu memberi kewenangan kepada BKSDA untuk melakukan perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan.
Heri juga menambahkan, terkait konsep kolaboratif, BKSDA menawakan konsep ‘sharing power‘ di mana terlibat lima unsur di dalamnya.
“Lima unsur itu adalah hutan sebagai objek, kedua pemerintah pusat, ketiga pemerintah daerah, keempat masyarakat kelima mitra seperti LSM, ormas dan sebagainya,” papar dia.
Sementara Ferdinandes Danse mengangkat fakta bahwa selama ini staf BKSDA sering melakukan tindakan kekerasan dan intimidasi terhadap nasyarakat adat. Seperti penangkapan, pencabutan dan pembabatan kopi, pembakaran pondok dan sebagainya.
Ketua BPH AMAN ini meminta kepada pihak KSDA agar ke depan tindakan-tindakan serupa harus dihentikan.
“Ketika ada soal harus diselesaikan lewat ‘lonto leok‘ (Musyawarah Mufakat),” harap dia.
Anggota Bidang Advokasi Hukum dan HAM AMAN Flores Barat, Herson Loi punya harapan agar dengan ‘workshop‘ ini, masyarakat adat maupun pihak BKSDA bisa menahan diri.
“Masyarakat adat hendaknya bisa lebih arif dalam mengelola tanah titipan lehuhurnya dengan mempertimbangkan aspek kelestarian lingkungan. Kelola dulu yang ada sesuai kesepakatan dan jangan melebar sampai ada aturan lain yang mengaturnya,” pintanya.
Sedangkan untuk BKSDA Ruteng, ia berharap tidak melakukan tindakan kekerasan dan intimidasi terhadap masyarakat adat apalagi sampai melakukan penangkapan.
“Kita pada posisinya punya misi yang sama bahwa hutan dan lingkungan harus lestari, cuma pola pengelolaan yang harus diubah berdasarkan aturan yang ada. Apalagi di tingkat masyarakat adat sendiri, aturan terkait zonasi pengelolaan pasti ada, dan harus diperkuat,” tutup Herson.
Laporan: Yopie Moon