Belakangan ini racun mewarnai pemberitaan di media. Terakhir dikabarkan Polri juga menerima informasi adanya potensi ancaman teror racun dengan sasaran utama adalah personil-personilnya di lapangan.
Informasi yang kemudian diteruskan pada seluruh jajarannya itu sebenarnya dapat dipahami sebagai semacam peringatan saja bagi internal kepolisian untuk mewaspadai kemungkinan-kemungkinan, sekecil apapun itu. Hanya saja sayangnya itu juga dirilis keluar. Bisa saja itu justru menginspirasi pelaku teror untuk mencobanya.
Racun sebenarnya adalah teknik teror yang paling purba. Awalnya digunakan manusia pada hewan untuk mendapatkan makanan, lalu kemudian berkembang dan digunakan sebagai salahsatu senjata pamungkas.
Jadi ini bukan soal kecanggihan. Ini soal sarana saja. Nah tinggal kemudian dilihat jenis racun, sarana yang digunakan dan kerumitan modus operandinya. Ini baru dapat diukur canggih atau tidaknya.
Lalu jika bicara sasaran, sebelum ini sudah pernah ada aksi teror dengan sasaran aparat keamanan secara sporadis, menggunakan senjata api, bahkan racun semisal di solo dulu dan beberapa lokasi lain di Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Barat, menyerang pos polisi, atau polisi yang sedang dalam perjalanan tugas. Artinya mereka memanfaatkan kelengahan, ketidak waspadaan atau bahkan kelalaian.
Saat ini, akses untuk mendapatkan senjata konvensional, seperti senjata api atau bahan peledak berupa TNT, TATP atau C4 semakin sempit dan sulit. Jadi sangat mungkin pelaku teror beralih pada cara lain, racun misalnya, terutama jika sasaran-sasaran dan pesan yang ingin disampaikan bersifat spesifik.
Yang perlu dicatat, jika memang itu digunakan dalam aksi teror, akan sulit mengaitkannya secara langsung dengan jaringan-jaringan terorisme internasional. Ini akan tampak sebagai varian teror a la Indonesia. Wujud kreativitas yang harus dilakukan sebagai respons atas makin baiknya kewaspadaan dan kemampuan aparat dalam penanggulangan teror yang tentu saja meskipun demikian, masih menyisakan celah-celah rawan di area-area publik.
Saat ini sebenarnya juga belum muncul lagi sosok pelaku teror yang harus diwaspadai karena kemampuan melakukan serangan dengan menggunakan bahan kimia di Indonesia, seperti Dr Azahari pada masa lalu. Kerangkanya saat ini masih seputar penggunaan peledak dan senjata api.
Justru meluasnya info soal potensi ancaman itulah yang menurut saya cenderung menginspirasi kemunculan pelaku-pelaku baru untuk merealisasikan ide meracuni polisi. Baik untuk sasaran spesifik, maupun untuk sekedar menciptakan ketakutan yang meluas. Teror seperti menemukan jalannya.
Apakah tagar #KamiTidakTakut akan mampu memberi kita sugesti ketika misalnya ada ancaman racun di sumber-sumber air minum penduduk. Bak penampungan air PDAM misalnya?
Jika polri bermaksud menginformasikan potensi-potensi ancaman teror, mestinya dilakukan dlm kerangka mitigasi yang komprehensif dan konstruktif. Tidak berhenti hanya pada informasi saja.
Karena hal itu justru malah berpotensi menimbulkan kegaduhan dan kepanikan yang tidak perlu, baik di internal maupun di masyarakat. Polri dan BNPT perlu serius melakukan mitigasi.
Ini lebih baik ketimbang mengeluarkan kebijakan yang sifatnya reaktif, terkesan panik dan juga tidak berkelanjutan. Ini selain memudahkan kerja polri meningkatkan kewaspadaan, di sisi lain juga tidak akan sampai membatasi/mengganggu hak-hak sipil dan kenyamanan warga beraktivitas di ruang publik.
Oleh Khairul Fahmi Khafisena, Jurnalis KedaiPena.Com