Artikel ini ditulis oleh Arief Gunawan, Pemerhati Sejarah.
SEJARAWAN Sartono Kartodirdjo di koran Kompas, edisi Rabu, 20 Januari 1988, menulis artikel yang mengulas meriahnya korupsi di tubuh birokrasi negeri ini, berjudul “Apakah Itu Korupsi?”.
Ia menyebut praktek korupsi di tubuh birokrasi kita tiada lain ialah kelanjutan dari birokrasi kolonial, yang memiliki dua ciri, yaitu feodal dan legal-rasional.
Ambivalensi ini, menurutnya, menjadi sumber masalah korupsi di Indonesia karena bertolak belakang dengan birokrasi modern yang mengutamakan transparansi, integritas, dapat dipercaya, dan bersih.
Birokrasi feodal melahirkan mumpungisme, yaitu sikap mengambil keuntungan buat diri sendiri dari kesempatan atau peluang yang ada.
Mumpungisme yang kini menjadi kelakuan umum para penguasa negeri ini adalah mindset warisan mentalitas priyayi, yang terbiasa dilayani bukan melayani, dan menganggap menerima upeti sebagai hal yang lumrah.
Di masa kolonial priyayi yang menjadi ambtenar (Inlandsch Bestuur atau pribumi yang menjadi pegawai pemerintah) umumnya hidup terpandang bukan karena kewibawaan membela hak-hak rakyat, melainkan karena harta kekayaannya.
Dalam masyarakat tradisional-feodal salah satu tugas priyayi yang oleh pemerintah kolonial ditunjuk sebagai Volkshoofd (kepala rakyat) ialah menarik pajak dari rakyat. Dari tugas ini mereka mendapatkan “komisi” sebagai agen VOC.
Di masa Preangerstelsel dan Tanam Paksa (Cultuurstelsel) dengan hadiah berupa jabatan dan priviledge mereka tampil dalam gaya hidup mewah dan hedonis di tengah-tengah penderitaan rakyat. Persis seperti kelakuan para pejabat pada umumnya yang sering kita lihat saat ini.
Gaya hidup pejabat hedonis yang terbaru dipertontonkan oleh Rafael Alun Trisambodo, Kepala Biro Umum Ditjen Pajak, yang punya harta fantastis dan duit puluhan miliar, disusul Eko Darmanto, Kepala Bea Cukai, Jogjakarta, yang pamer pesawat Cesna dan kendaraan mewah lainnya.
Nama Rafael Alun Trisambodo muncul bukan karena prestasinya, melainkan karena sang anak melakukan penganiayaan.
Seperti diberitakan oleh media massa hingga kini ternyata masih banyak pegawai kementerian keuangan yang belum menyerahkan laporan ke LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara). Termasuk para pegawai pajak. Masih menunggu deadline yang ditentukan, 31 Maret yang akan datang.
Harta kekayaan para pejabat kementerian keuangan ini diduga umumnya melejit karena tidak sedikit yang merangkap jabatan menjadi komisaris di anak perusahaan BUMN dan cenderung mencurigakan.
Hal ini ternyata tidak menjadi perhatian Sri Mulyani yang selama ini sibuk menumpuk utang dan dipuji-puji asing sebagai menteri keuangan terbaik.
Mengutip penilaian analis politik dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ubedilah Badrun, reformasi birokrasi di kementerian keuangan yang dipimpin Sri Mulyani ternyata terbukti gagal secara sistemik, karena etika publik tidak melekat pada birokrat, pegawai, dan keluarga di jajaran kementerian.
“Gaya hidup mewah pegawai pajak dan keluarganya adalah ekspresi psikologis yang miskin etika publik. Apalagi memamerkan gaya hidup mewah di medsos di tengah jutaan orang miskin yang terus bertambah, pengangguran yang terus bertambah, dan PHK terus-menerus,” tegas Ubedilah Badrun.
Di sisi lain hal ini juga menunjukkan sistem pengawasan terhadap wajib pajak ternyata hanya berlaku untuk masyarakat kecil, tetapi tidak berlaku untuk para pejabat pajak itu sendiri.
Kondisi ini bukan hanya menampilkan bobroknya birokrasi di bawah asuhan Sri Mulyani, tapi sekaligus memperlihatkan negeri ini selama hampir sembilan tahun terakhir dikelola rezim amatiran dengan naluri maling, terlalu banyak oknum di setiap institusi, rakus, dan serakah. Sehingga rakyat kini mencela para pejabat pajak yang korup tiada ubahnya dengan tukang palak.
Tukang palak dalam pengertian umum ialah para kriminal yang lazim beroperasi di pasar-pasar dan terminal angkutan umum, hanya saja para pejabat pajak korup ini beroperasi sangat rapi, berbaju necis, klimis, dan berdasi, serta saling melindungi, dalam istilah keren disebut pelaku white collar crime. Tapi esensinya bandit.
[***]