KedaiPena.Com – Krisis finansial hingga resesi global kini tengah jadi ancaman serius negara-negara di dunia. Kondisi demikian membuat sejumlah negara-negara di dunia termasuk Indonesia melakukan berbagai langkah antisipatif guna meredam badai krisis menghampiri negaranya.
Terbaru otoritas fiskal Indonesia dalam hal ini Bank Indonesia (BI) melakukan upaya antisipatif dengan mengeluarkan kebijakan menaikkan suku bunga acuan atau BI 7-day Reverse Repo Rate (DRRR) sebesar 50 basis poin atau 0,50 persen menjadi 4,75 persen.
Assc Prof Dr Darmadi Durianto, SE.,MBA, Pakar Ekonomi dan Hukum dari Wiyatamandala School of Business menilai, kebijakan menaikkan suku bunga acuan yang dilakukan BI perlu dilihat dari beberapa hal.
“Pertama, ketika suku bunga acuan dinaikkan efek daya beli masyarakat akan cukup terguncang. Tentu ini perlu pemerintah kalkulasi potensi pelemahan daya beli masyarakat di satu sisi. Kedua, kenaikan suku bunga acuan perlu dibarengi dengan kebijakan yang berpihak pada kepentingan ekonomi rakyat. Tak cukup hanya meredam gejolak di pasar keuangan dengan menaikkan suku bunga acuan, tapi ada sektor lain yang juga perlu diperhitungkan resikonya saat suku bunga acuan naik,” papar Pakar Ekonomi Kerakyatan, Sabtu,(22/10/2022).
“Pemerintah dan BI mesti melakukan kolaborasi kebijakan secara terukur agar kebijakan tersebut tidak berdampak serius,” sambungnya.
Jika merujuk pada hasil penelitian Ben Bernanke, Douglas Diamond dan Philip Dybvig peraih Nobel ekonomi tahun ini, Darmadi mengatakan, sistem keuangan konvensional menjadi salah satu pemicu terjadinya krisis keuangan.
“Mengapa? Apa yang dikatakan para peraih Nobel itu cukup logis di mana kultur debitur dan kreditur cukup berbeda. Kreditur ingin dananya cepat berputar sedangkan debitur maunya tunggakan diperpanjang. Jelas suku bunga acuan yang dinaikkan BI ini akan mengarah ke situ. Ini harus kita waspadai sejak dini,” ucap Anggota Komisi VI DPR RI itu.
Menurutnya, guna meredam gejolak inflasi dan resesi pemerintah dan BI mestinya melakukan reformasi kebijakan fiskal.
“Apa yang dikatakan para peraih Nobel ekonomi tahun ini mestinya jadi refleksi kita semua. Bagaimana sistem keuangan konvensional selama ini ternyata mengandung high risk,” harap Bendahara Megawati Institute itu.
Darmadi menegaskan, menghadapi ancaman krisis keuangan, hal pertama yang harus dibenahi terlebih dahulu yaitu sektor perbankan.
“Seperti yang diteliti Bernanke bahwa keruntuhan bank dapat memicu krisis keuangan, bank rush adalah alasan yang menentukan krisis menjadi begitu parah dan mengakar,” urainya.
Sekali lagi, Darmadi menegaskan, kenaikan suku bunga acuan bisa berdampak ke mana-mana.
“Termasuk ke perputaran kredit akan melambat. Padahal perputaran kredit adalah ruh atau fondasi utama bergeraknya roda perekonomian suatu negara. Jika sektor kredit stuck jelas ini alarm bagi kita semua,” tandasnya.
Untuk itu, Darmadi menyarankan, pemerintah perlu mengeluarkan formulasi kebijakan yang berbasis pada ketahanan ekonomi rakyatnya.
“Terutama terkait kebijakan di sektor pangan dan energi perlu dibuat secara flexible agar laju inflasi bisa diminimalisir. Ruang fiskal juga perlu diperketat dengan mengeluarkan program-program yang tidak begitu urgen. UMKM kita perlu dibackup total agar roda ekonomi tetap berputar,” papar Legislator dari dapil DKI Jakarta III meliputi Jakarta Utara, Barat dan Kepulauan Seribu itu.
Diketahui, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengumumkan BI memutuskan untuk menaikkan BI 7-day Reverse Repo Rate (DRRR) sebesar 50 basis poin atau 0,50 persen menjadi 4,75 persen. Dengan demikian, suku bunga deposit facility naik 50 bps menjadi 4 persen dan lending facility naik 50 bps menjadi 5,5 persen. “RDG BI pada tangga 19-20 Oktober 2022 memutuskan untuk menaikkan BI 7DRRR sebesar 50 bps menjadi 4,75 persen,” ujarnya, Kamis (20/10/2022).
Perry mengatakan, keputusan kenaikan suku bunga tersebut sebagai antisipasi untuk menurunkan ekspektasi inflasi dan memastikan inflasi inti kembali ke sasaran 3 persen plus minus 1 persen pada paruh kedua tahun 2023.
Selain itu, keputusan ini juga untuk memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah agar sejalan dengan nilai fundamentalnya akibat akibat semakin kuatnya mata uang dollar AS dan tingginya ketidakpastian pasar keuangan global di tengah peningkatan permintaan ekonomi domestik yang tetap kuat.
“Keputusan kenaikan suku bunga tersebut sebagai langkah front loaded, pre-emptive, dan forward looking untuk menurunkan ekspektasi inflasi yang saat ini terlalu tinggi atau over shooting,” ucap Perry.
Sebagai informasi, kebijakan kenaikan suku bunga oleh BI telah dilakukan ketiga kalinya, setelah pada Agustus dan September lalu BI telah menaikan suku bunga acuan masing-masing sebesar 25 bps dan 50 bps.
Laporan: Muhammad Hafidh