Artikel ini ditulis oleh Arief Gunawan, Pemerhati Sejarah.
Bagaimana nilai kemanusiaan dalam praktek perbudakan di tanah air, seperti dulu prakteknya pernah diberlakukan penjajah Belanda dengan menggunakan Koeli Ordonantie tahun 1889?
Koeli Ordonantie ialah undang-undang perburuhan, atau semacam Omnibus Law (Undang-undang Cipta Kerja saat ini), yang juga dikenal dengan sebutan undang-undang Koeli Kontrak.
Isinya ternyata sangat menindas, mengabaikan nilai-nilai kemanusian dan hanya menguntungkan pengusaha serta birokrasi kolonial.
Itulah sebabnya pahlawan nasional Mohammad Husni Thamrin saat menjadi anggota Volksraad (DPR Hindia Belanda) tahun 1920-an, menentangnya secara habis-habisan.
Dalam biografi “Mohammad Hoesni Thamrin, Tokoh Betawi, Nasionalis Revolusioner Perintis Kemerdekaan”, yang ditulis sejarawan Bob Hering, dikisahkan, selain mengecam praktek perbudakan terhadap para buruh yang dilegalkan seperti itu ia juga berkunjung ke perkebunan-perkebunan tembakau di tanah Deli, Sumatera Timur, yang mempekerjakan para buruh bumiputera secara tidak manusiawi.
Para buruh ini tertindas akibat Poenale Sanctie, yaitu peraturan berupa siksaan fisik yang menjadi bagian dari Koeli Ordonantie.
Pembelaan Hoesni Thamrin ini menjadi perhatian para pialang tembakau di Eropa dan dunia internasional kala itu, yang akhirnya membuat pemerintah kolonial Hindia Belanda menghapus peraturan tidak manusiawi tersebut.
Itu pula yang menjelaskan mengapa di tanah Sumatera (kota Medan) hingga kini terdapat nama jalan Mohamad Hoesni Thamrin, meskipun ia tokoh masyarakat Betawi.
Pemberian nama jalan itu merupakan bentuk penghormatan keluarga Sultan Deli untuk mengenang jasa Thamrin dalam membela nasib para buruh.
Rezim Jokowi saat ini ternyata juga sedang mengulang sejarah buruk praktek Koeli Ordonantie dan Poenale Sanctie, karena keduanya secara esensi memiliki kemiripan dengan Omnibus Law Cipta Kerja yang merupakan undang-undang yang merugikan hak-hak buruh.
Salah satu point tidak manusiawi di dalam undang-undang tersebut ialah tentang status outsourcing seumur hidup. Dimana ada ketentuan mengenai buruh outsourcing seumur hidup tidak mendapatkan tunjangan sosial, tunjangan kesehatan, tunjangan keluarga dan hak lainnya. Sehingga jika terjadi apa-apa buruh tidak memiliki perlindungan.
“Ini adalah contoh perburuhan yang sangat tidak manusiawi yang terdapat di Undang-undang Omnibus Law. Sama artinya dengan perbudakan modern,” tegas Rizal Ramli, saat berdiskusi dengan para aktivis perburuhan yang merupakan perwakilan 15 aliansi buruh tanah air, di Jakarta, kemarin. Antara lain Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) pimpinan
Jumhur Hidayat.
Menko Perekonomian era Presiden Gus Dur itu lebih jauh mengatakan, sistem outsourching untuk para buruh mestinya hanya berlaku 3 bulan, setelah itu buruh dapat diangkat menjadi pekerja tetap.
“Kita negara Pancasila dan berlandaskan UUD ‘45, tapi kok mengizinkan perbudakan,” tandas Rizal Ramli lagi.
Ia menjelaskan, ada beberapa alasan yang digunakan pemerintah untuk membenarkan terbitnya Undang-undang Omnibus Law ini. Namun kebanyakan alasannya mengada-ada. Misalnya alasan karena adanya kegentingan perekonomian nasional, sehingga undang-undang tersebut harus diterbitkan.
Padahal, lanjut Rizal Ramli, kesulitan ekonomi dapat diatasi dengan cara-cara inovatif, tidak perlu dengan menerbitkan undang-undang yang menyusahkan buruh.
Apalagi ternyata pertumbuhan ekonomi nasional sejak sebelum dan sesudah munculnya undang-undang Omnibus Law hanya berkisar 4,5 atau 5 persen. Jadi, tidak ada alasan kegentingan. Kegentingan itu benar adanya kalau pertumbuhan ekonomi nasional negatif, seperti tahun 1997-1998 pertumbuhan ekonominya negatif 12,9 persen. Namun kalau pertumbuhan ekonomi masih positif di atas 4,5 persen, belum termasuk genting.
Rizal Ramli meminta agar para pejabat jangan terbiasa membodohi dan menakut-nakuti rakyat.
Ia sendiri sebagai tokoh pergerakan yang selalu melekatkan hati, pikiran dan perbuatannya untuk membela wong cilik merasa sangat terharu saat para buruh, kemarin, memintanya untuk menjadi saksi ahli dalam sidang gugatan terhadap Undang-undang Omnibus Law di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis besok.
Karena memang menurutnya banyak sekali persoalan ketidakadilan di dalam undang-undang setebal 1.000 halaman (plus 500 halaman penjelasan) tersebut, termasuk soal bakal semakin terkeruknya kekayaan alam tanah air oleh asing, hingga besarnya potensi praktek sogokan dan korupsi kalangan birokrasi yang bersinggungan dengan kepentingan para pengusaha.
[***]