KedaiPena.Com – Semakin banyak anak-anak usia sekolah yang bisa mengakses pendidikan di sekolah, tak serta-merta menjamin mereka mampu menguasai kompetensi dasar yang dibutuhkan, minimum dalam numerasi dan literasi.
Pada kurun 2000 dan 2014 terlihat bahwa, semakin tinggi tingkat angka usia anak sekolah di Indonesia ke jenjang SMP dan SMA, kemampuan numerasinya justru menurun.
Kemampuan numerasi dasar siswa kelas VII SMP pada 2014 hanya setara dengan kemampuan siswa kelas IV SD di tahun 2000.
Kenyataan hasil belajar siswa Indonesia yang justru menurun di tengah berbagai terobosan kebijakan dan program pendidikan yang dilakukan pascareformasi tersebut terungkap dalam jurnal internasional Educational Development Volume 85 tahun 2021.
Kajian tentang mutu pembelajaran Matematika siswa Indonesia yang tidak mampu mencapai kompetensi minimum dituangkan dalam tulisan bertajuk Schooling Progress, Learning Reversal: Indonesia’s Learning Profiles Between 2000 and 2014 yang ditulis Amanda Beatty, Emilie Berkhout, Luhur Bima, Menno Pradhan, dan Daniel Suyadarma. Tim penulis dari Amerika Serikat, Belanda, dan Indonesia yang diwakili The SMERU Research Institute.
Riset dengan data Indonesia Family Life Survey (IFLS) atau survei aspek kerumahtanggaan Indonesia ini hendak menguji hubungan antara menyelesaikan sekolah dan pembelajaran Matematika dari tahun 2000 hingga 2014. Temuannya, ada kesenjangan antara kompetensi siswa dan standar di kurikulum nasional.
Pembelajaran menurun setelah 14 tahun. Rata-rata siswa kelas VII di tahun 2014 mencapai penguasaan numerasi rata-rata siswa kelas IV di tahun 2000. Padahal, di kurun waktu tersebut jumlah siswa yang mendaftar ke SMP dan SMA meningkat tajam.
Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan untuk menguji kemampuan siswa usia 7 tahun ke atas di tahun 2000 dan 2014 ini sederhana. Soal-soal yang disajikan dari pengurangan dua digit (49-23), penambahan tiga digit dan pengurangan (267+112-189), satu digit penambahan dan perkalian (8+9)x3, pengurangan pecahan 1/3-1/6, pembagian dua digit (56/84), desimal, hingga soal cerita singkat untuk menghitung bunga yang didapat dan menghitung persen.
Hasilnya, hanya 67 persen siswa kelas III SD yang dapat menjawab pertanyaan sederhana 49-23 secara benar. Padahal, soal ini untuk kelas I SD. Hanya 36 persen siswa dari kelas XII yang benar menjawab problem menghitung bunga. Lalu, tidak ada siswa kelas V SD yang dapat menjawab 1/3-1/6 yang merupakan pertanyaan di kelas IV SD.
Studi di tahun 2011 dan 2012 untuk siswa kelas I-IX di Indonesia, juga menemukan level kemampuan belajar yang rendah. Hanya 57 persen siswa yang menjawab benar perkalian satu digit untuk siswa kelas III, hanya 50 persen siswa yang bisa mengurutkan empat digit angka secara benar dari besar ke kecil di akhir kelas II.
Di tahun 2018, skor Matematika Indonesia 379 dari 500 di Programme for International Student Assesmenet (PISA), terendah ketujuh dari hampir 80 negara. Kemampuan yang diharapkan di level 2 yang didefiniskan mencapai minimum proficiency. Ini karena SDGs menggunakan level 2 PISA sebagai pengukuran SDGs target 4.1 untuk pendidikan berkualitas. Namun, hanya 1 dari 3 siswa di Indonesia yang mampu mencapai level 2 atau ke atas di Matematika.
Hasil di Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) 2015, sebanyak 27 persen dari siswa kelas IV SD tidak dapat memenuhi tolok ukur terendah untuk kemampuan dasar di Matematika. Ada 50 persen yang memenuhi tolok ukur terendah, 23 persen memenuhi level 2 atau 3 dan tidak ada siswa yang mencapai level tertinggi.
Tak Percaya, Tetapi Nyata
Dosen Pendidikan Matematika di Universitas Sampoerna Jakarta, Dhitta Puti Sarasvati, Senin (28/6/2021), mengatakan, kajian terbaru ini lagi-lagi menunjukkan penguasaan kompetensi dasar numerasi siswa masih sangat bermasalah. Untuk hal sederhana penjumlahan dan pengurangan saja, banyak siswa kesulitan.
”Yang menggelisahkan bagi saya, banyak orang yang enggak percaya situasinya seperti di kajian. Banyak yang bilang tidak percaya kalau siswa Indonesia bodoh meskipun saya tidak setuju dengan sebutan bodoh untuk siswa yang belum menguasai kompetensi. Namun, temuan yang sangat mendasar di paper itu bahwa ada masalah dalam kemampuan dasar numerasi dan juga literasi, ya, nyata,” papar Puti.
Puti yang juga Koordinator Konten Gerakan Nasional Pemberantasan Buta Matematika (Gernas Tastaka), mengatakan, saat terjun ke lapangan, rendahnya temuan tentang kemampuan kompetensi numerasi siswa itu sungguh-sungguh terjadi, termasuk juga di Jakarta. ”Kenapa bisa terjadi? Karena di sekolah, banyak anak ikut belajar Matematika, tapi tidak belajar Matematika,” ujar Puti.
Pembelajaran Matematika di SD salah satunya untuk membangun kemampuan bernalar sederhana. Selain itu, membangun rasa ingin tahu. Ini karena Matematika sebagai salah satu alat untuk membuat penasaran seperti teka-teki, menyiapkan diri untuk pendidikan lebih lanjut, dan berhubungan dengan kehidupan sehari-hari.
Sejak Gernas Tastaka dicanangkan pada 2018, Puti menemukan ada proses belajar Matematika yang tidak terjadi. Di sekolah, siswa belajar berhitung penambahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian dengan hapalan, seperti apa kata guru. Tidak ada proses bernalar atau berpikir yang terjadi.
Lewat Gernas Tastaka yang melatih guru SD dengan sistem trainer of trainers, guru diajarkan untuk menerapkan pendekatan belajar Matematika dengan cara konkret-gambar-abstrak.
Sejak di Gernas Tastaka, ia sering mendapat pesan Whatsapp dari guru yang bingung mengajarkan pecahan. Dengan pendekatan konkret-gambar-abstrak, proses menjelaskan kepada siswa lebih mudah.
”Belajar harus sesuai tahapan perkembangan anak, konkret dulu baru gambar baru abstrak. Selama ini anak-anak menerima Matematika tidak pakai mikir. Mereka ingat pesan guru untuk disamakan peyebutnya, tanpa mengerti. Padahal, untuk disebut benar di Matematika itu jika kita tahu alasannya,” tutur Puti menjelaskan.
Menurut Puti, perbaikan dalam pembelajaran Matematika oleh guru di tingkat SD membutuhkan keterampilan mengajar, keterampilan berpikir, dan memilih kegiatan yang cocok dan menarik. ”Yang penting, apakah ada proses penalaran. Anak Indonesia ada yang jago, tapi pakai nalar tidak? Selain itu, bisa melihat koneksi antara yang dipelajari dan hal lain,” kata Puti.
Sementara itu, Wakil Ketua NU Circle Achmad Rizali meminta pemerintah untuk menyadari masalah besar pendidikan saat ini. ”Jika terus dibiarkan, pada 2030 dan 2045 Indonesia akan mengalami bencana demografi sekaligus kehilangan generasi emas,” kata Achmad yang juga Ketua Presidium Gernas Tastaka.
Achmad mengatakan, Presiden dan Kemdikbudristek perlu mereorientasi pendidikan ansional dengan mengurusi pendidikan SD dan madrasah. ”Keluarkan instruksi Presiden untuk meningkatkan mutu siswa SD dan madrarasah ibtidaiyah,” kata Achmad menegaskan.
Ia prihatin terjadi pembodohan massal siswa Indonesia yang saat ini kualitasnya hanya setara siswa kelas IV SD. ”Tidak hanya keterampilan numerasi siswa Indonesia yang memburuk, keterampilan membaca juga menurun,” kata Achmad.
Fokus Pembelajaran
Dari kajian di jurnal Educational Development, diungkapkan sebenarnya kebijakan pendidikan di Indonesia terus digulirkan. Pada 2001 terjadi desentralisasi pendidikan dari pusat ke daerah.
Di tahun 2002, amanat konstitusi menyatakan minimal 20 persen anggaran pendidikan di APBN dan APBD. Di tahun 2005, lahir UU Guru dan Dosen sehingga terjadi peningkatan kualifikasi pendidikan guru minimal DIV/S-1 dan sertifikasi guru dengan penambahan satu kali gaji atau tunjangan profesi guru.
Meksipun masa reformasi menyediakan lebih banyak anggaran pendidikan, meningkatkan standar, dan meningkatkan akses sekolah; pembelajaran masih jadi tantangan.
Dari sisi rata-rata lama belajar antara 1993 dan 2014, naik dari 7,1 tahun menjadi 10,5 tahun. Dari tahun 2000 ke tahun 2014, pendaftaran siswa ke SMP naik dari 71 persen menjadi 90 persen, di SMA dari 47 persen jadi 71 persen.
Sayangnya, berbagai kebijakan reformasi pendidikan itu tidak secara langsung menargetkan pada pembelajaran, atau secara khusus meningkatkan kemampuan dasar, seperti pertanyaan numerasi yang dianalisis di paper.
Kebijakan pendidikan itu seharusnya secara sungguh-sungguh mengeksplorasi dan menargetkan untuk mengatasi hambatan pembelajaran. Riset menunjukkan Indonesia tidak menghadapi masalah di anggaran pendidikan, kualifikasi guru, rasio siswa-murid, jadi lebih perlu kajian lebih lanjut tentang hal-hal yang tidak ditemukan agar dapat mengatasi hambatan dasar untuk peningkatan pembelajaran.
Studi terbaru yang menunjukkan lama belajar siswa Indonesia yang tidak sebanding dengan mutu pembelajarannya tersebut diharapkan akan lebih mendorong pemrintah untuk memonitor outcome, sebagai kunci awal untuk strategi apa pun dalam upaya mentransformasi sistem pendidikan dan memprioritaskan pembelajaran.
Artikel ini sebelumnya dimuat di Harian Kompas.