ISENG-iseng jika punya kesempatan, Anda bisa melakukan eksperimen sederhana berikut ini. Coba Anda masukkan seekor kepiting hidup ke dalam sebuah keranjang. Perhatikanlah baik-baik apa yang dilakukan kepiting itu. Ternyata kepiting itu dengan cepat akan menaiki keranjang itu untuk segera keluar dari keranjang.
Nah, kini lakukan eksperimen yang sama tatapi dengan menggunakan lebih banyak lagi kepiting hidup. Berapa saja, boleh sepuluh ekor kepiting, tiga belas, dua puluh ekor kepiting. Terserah Anda! Lalu masukan serombongan kepiting itu ke dalam keranjang tadi sekaligus. Apa yang terjadi?
Saat seekor kepiting sedang berusaha memanjat keranjang untuk keluar, maka kepiting-kepiting lainnya akan segera menariknya agar kepiting yang sedang berusaha naik keluar dari keranjang bisa tetap berada di dalam keranjang.
Begitu juga ketika kepiting lainnya berusaha memanjat, maka gerombolan kepiting perusuh yang ada di dasar keranjang serasa tak sudi dengan mengekspresikan sikapnya menarik kepiting yang berusaha memanjat. Itu berlangsung terus dan terus seperti itu.
Entah mengapa para kepiting itu seakan tak sudi untuk saling bersinergi dan bergotongroyong agar bisa keluar dengan menaiki keranjang itu, sebagaimana gotong royong yang ditunjukan rombongan semut yang memanggul gula batu maupun mayat kecoa untuk mereka dijadikan santapan bersama di gua-gua mereka. Begitulah sesungguhnya mentalitas kepiting, wahai para sahabat tercinta!
Namun, yang amat disayangkan dalam kehidupan pergaulan sehari-hari betapa tak sedikit kita temui orang-orang dengan mentalitas kepiting, dimana ia akan “menarik” temannya yang sedang terus berusaha merangkak menaiki anak-anak tangga kesuksesan yang diyakininya itu agar temannya itu tetap berada di bawah.
Cara orang bermentalitas kepiting dalam menghalangi-halangi bisa dengan beragam cara. Bisa lewat kalimat-kalimat sindiran bahkan mungkin hoax yang bertujuan menghambat gerak gerak maju temannya itu.
Misalkan “Ngapain sok-sokan rajin begitu, hasilnya sama aja. Percaya deh!”, “Cari muka ya kamu sama boss, biar kamu dinaikkin jabatanmu?!” dan kalimat-kalimat lain beraroma antikemajuan orang lain yang hendak diraihnya secara benar dan berkualitas.
Bisa dibayangkan betapa mengerikannya jika ternyata orang bermentalitas kepiting ini adalah seorang pemimpin. Padahal tugas pemimpin sejatinya, diantaranya, adalah menjadi inspirator dan motivator bagi bawahannya dalam menaiki anak tangga-anak tangga kesuksesan yang ingin diraih bawahannya, dan bukan malah menghambatnya.
Baik menghambat dengan menggunakan kata-kata sindiran, hoax, acuh atas perkembangan yang berhasil diraihnya, maupun dengan menggunakan kewenangan yang dimilikinya untuk menghambat perkembangan bawahannya.
Semoga kita semua dilindungi dan terhindar dari mentalitas kepiting tersebut. Dan semoga orang-orang di lingkungan terdekat dan di lingkungan pergaulan kita yang sempat mencoba-coba maupun sedikit kecanduan bermental kepiting, bisa segera diberikan hidayah oleh Tuhan Yang Maha Pemberi Hidayah. Malah diberikan kemampuan secepatnya untuk memiliki mental laksana semut yang gandrung bekerjasama dan bergotongroyong.
Oleh Nanang Djamaludin, Analisis Sosial-Kemasyarakatan KIAT 98 (Komunitas Intelektual Aktivis 98)