Artikel ini ditulis oleh Arief Gunawan, Pemerhati Sejarah.
Pentingnya kepemilikan tanah pada masyarakat Jawa tergambar dalam ungkapan “sadhumuk bathuk sanyari bumi. Ditohi kanti pati”.
Walaupun sempit tanahnya, sesempit ruas jari di jidat, tanah adalah nyawa.
Itulah sebabnya Sukarno yang memahami filosofi dan sosiologi mendasari konsepsi marhaenisme-nya dengan menekankan persoalan kepemilikan tanah wong cilik.
Perang Jawa esensinya perlawanan terhadap perampasan tanah.
Belanda mengalami kerugian finansial sangat besar dalam perang 5 tahun itu, sehingga menebusnya dengan 40 tahun Tanam Paksa, disusul Liberalisasi Ekonomi, 1870, dengan mengeluarkan Agrarische Wet, undang-undang agraria kolonial yang menguntungkan investor asing, yang kemudian menjadi Tuan Tanah dan Tuan Kebun.
Di Bojong Koneng, Sentul, Jawa Barat, praktek perampasan tanah kini terjadi lagi. Dilakukan oleh para anasir kolonialisme baru, dengan pemeran Londo Ireng yang terdiri dari aparatur manipulatif beserta preman-preman bayaran yang dibiayai oleh bandar aseng.
Perampasan tanah secara kasat mata ini berlangsung di tengah berbagai penderitaan ekonomi yang sedang dialami oleh mayoritas rakyat Indonesia saat ini, dan dipertontonkan secara brutal di tengah kian suramnya ketidakadilan di bidang hukum.
Rizal Ramli merupakan salah satu tokoh yang berdiri di depan menentang perampasan tanah.
Ia antara lain menyuarakan agar pemberantasan terhadap mafia tanah tidak sekedar lip services.
Rakyat akan sangat berbahagia kalau mafia tanah beserta beking-bekingnya benar-benar disikat, karena perampasan tanah adalah bagian dari proses kemiskinan struktural dan melanggar hak azasi manusia.
Jika pemberantasan itu dilakukan, ia yakin Presiden Jokowi akan mendapatkan simpati sangat besar dari rakyat.
Namun di tengah keteguhan sikapnya menentang perampasan tanah rakyat yang dilakukan oleh para Londo Ireng, yang terdiri dari aparatur manipulatif dan preman-preman dengan modal dari bandar aseng ini, apa sebenarnya konsepsi Rizal Ramli terhadap tanah rakyat?
Rizal Ramli selalu menekankan, rakyat harus mendapatkan ganti untung (bukan ganti rugi). Misalnya mendapatkan relokasi di tempat baru dengan memperoleh luas tanah dua kali lipat dari tanah yang dimiliki sebelumnya.
Esensinya harus ada keadilan dan jangan semena-mena seolah tanah yang dirampas merupakan milik nenek moyang perampas.
Contoh konkret yang dilakukan Rizal Ramli adalah pada saat menjadi Menko Maritim dan Sumber Daya, ia bertindak adil dalam persoalan tanah rakyat.
Ketika hendak membenahi kawasan Candi Borobudur di Magelang, yang akan dijadikannya sentral destinasi wisata religi bagi umat Budha di seluruh dunia, Rizal Ramli merancang rencana untuk merelokasi warga yang tinggal di sekitar candi ke wilayah lain.
Berdasarkan hitungan pemerintah Kabupaten Magelang setidaknya terdapat 600 hektar tanah yang akan digunakan untuk pengembangan destinasi wisata yang telah dinobatkan sebagai warisan dunia itu.
Apabila program ini terlaksana warga akan direlokasi ke Bukit Manoreh yang masih terletak di kawasan Magelang. Warga akan mendapatkan lahan dua kali lipat dari luas tanah yang dimiliki sebelumnya. Selain itu rencananya warga akan mendapatkan saham dari keuntungan Badan Otorita Candi Borobudur yang akan dibentuk ini.
Kalau semua rencana ini terwujud maka dapat terjadi pertumbuhan ekonomi inklusif. Semakin untung badan otorita, masyarakat akan semakin tinggi mendapatkan bagiannya. Terobosan bidang pariwisata seperti ini sebelumnya tidak pernah terjadi di Indonesia.
Sebagai Menko Maritim dan Sumber Daya yang membawahi Kementerian Pariwisata saat itu Rizal Ramli selalu menekankan pentingnya mengutamakan aspek keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat dalam setiap pengembangan proyek kepariwisataan.
Demikian pula sikapnya saat hendak mengembangkan kawasan wisata Danau Toba, Sumatera Utara, yang saat itu rencananya akan dijadikan badan otoritas pariwisata tersendiri.
Soal tanah bagi Rizal Ramli adalah soal harkat dan kehidupan manusia. Bahkan seperti ungkapan luhur masyarakat Jawa, soal tanah adalah soal nyawa.
[***]