KedaiPena.Com – Kepala Departemen Sosial Politik BEM UNJ 2016, Rizky Fajrianto mengkritisi revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang akan direvisi oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Kata dia dalam keterangan kepada KedaiPena.Com, Minggu (21/2), ada beberapa pembahasan terkait poin-poin revisi UU KPK yang dianggap melemahkan institusi tersebut.
Berikut poin-poin itu;
1. Pengunduran diri pemimpin KPK Pasal 32 ditambahkan ketentuan bahwa pimpinan KPK yang mengundurkan dir, dilarang menduduki jabatan publik. Pasal 32 ayat 1 huruf c ditambah ketentuan pemberhentian tetap pimpinan KPK yang dijatuhi pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
2. Dewan Pengawas Pada Pasal 37 D mengenai tugas Dewan Pengawas ditambah dua poin, yakni memberikan izin penyadapan dan peyitaan, dan menyusun dan menetapkan kode etik pimpinan KPK. Pasal 37 D dalam memilih dan mengangkat Dewan Pengawas, Presiden membentuk Panita Seleksi. Dalam Pasal 37 E ditambahkan satu ayat yang rumusannya menyebutkan bahwa anggota Dewan Pengawas yang mengundurkan diri dilarang menduduki jabatan publik.
3. Ketentuan soal SP3 Sementara, di Pasal 40 mengenai SP3 ditentukan bahwa pemberian itu harus disertai alasan dan bukti yang cukup dan harus dilaporkan pada Dewan Pengawas. SP3 juga dapat dicabut kembali apabila ditemukan hal-hal baru yang dapat membatalkan alasan pengentian perkara.
4. Penyelidik dan penyidik independen Pasal 43 ditambah ketentuan bahwa pimpinan KPK dapat mengangkat penyelidik sendiri sesuai dalam persyaratan dalam undang-undang ini. Selanjutnya, Pasal 45 ditambah ketentuan bahwa pimpinan KPK dapat mengangkat penyidik sendiri sesuai persyaratan dalam undang-undang.
5. Penyitaan Terakhir, Pasal 47A dalam keadaan mendesak, penyitaan boleh dilakukan tanpa izin dari dewan pengawas terlebih dahulu.
Dari poin- poin di atas, akan berdampak yang menjadi upaya pelemahan KPK, yakni:
1. Pembentukan Dewan Pengawas KPK. Dewan pengawas bertugas melakukan evaluasi kinerja pimpinan KPK secara berkala satu kali dalam satu tahun. Selain itu, berdasar naskah revisi UU KPK 2016, dewan pengawas memiliki otoritas penting dalam pemberian izin penyadapan dan penyitaan yang dilakukan penyidik KPK.
Persoalan terbesar dalam ketentuan dewan pengawas terkait dengan mekanisme pengangkatan dan pemilihan anggota dewan pengawas oleh presiden. Dengan kedudukan dewan pengawas yang demikian, tindakan mengevaluasi kinerja pimpinan KPK berpotensi sebagai bentuk intervensi eksekutif. Padahal, pada KPK, melekat sifat mandiri dan independen. Fungsi tersebut seolah merekonstruksi ulang posisi dewan pengawas yang berada setingkat di atas pimpinan KPK.
2. Revisi UU KPK terbaru juga mengakibatkan KPK kehilangan kemandirian dalam melakukan rekrutmen penyelidik dan penyidik. Dalam revisi UU KPK, disebutkan penyelidik KPK merupakan penyelidik yang diperbantukan dari kepolisian. Sedangkan pasal lain menyebutkan bahwa penyidik KPK merupakan penyidik yang diperbantukan dari kepolisian, kejaksaan, dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil. Dua ketentuan tersebut berdampak pada tertutupnya peluang KPK untuk merekrut secara mandiri penyelidik dan penyidik di luar tiga unsur tersebut.
3. Prosedur pemeriksaan tersangka oleh KPK akan terhambat di persoalan perizinan. Selama ini, KPK memiliki prosedur khusus pemeriksaan tersangka. Misalnya, tidak memerlukan izin untuk memeriksa pejabat tertentu seperti kepala daerah, menteri, maupun pejabat lain. Namun, revisi UU KPK secara tersirat mengharuskan prosedur khusus pemeriksaan tersangka mengacu pada hukum acara yang berlaku, yang menjadikan pemeriksaan berlarut-larut karena harus mendapatkan izin dari pejabat yang berwenang.
4. KPK dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan perkara korupsi. Padahal, salah satu keistimewaan KPK saat ini adalah tidak adanya mekanisme penerbitan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) dan penuntutan (pasal 40 UU KPK).
(Prw/Foto: Istimewa)