KedaiPena.Com – Sejumlah bentuk ancaman terhadap hak asasi manusia (HAM) tergambar dalam setahun terakhir.‎ ‎Di a‎khir tahun 2016 ditutup dengan kegagalan Pemerintah Indonesia dalam memberikan jaminan kenyamanan dan keamanan dalam penikmatan hak atas kebebasan berekspresi online.Â
“Revisi UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang diharapkan dapat menjamin perlindungan kebebasan berpendapat dan berekspresi, justru masih menyisakan sejumlah potensi pelanggaran HAM,” kata ‎Wahyu Wagiman, ‎Direktur Eksekutif ELSAM dalam keterangan pers yang diterima KedaiPena.Com, Minggu (12/12).Â
Selain masih memberikan legitimasi bagi tindak pidana penghinaan online, UU ini juga memberikan kekuasaan absolut bagi pemerintah untuk melakukan tindakan pemblokiran terhadap konten internet yang dinilai melanggar hukum tanpa diberikan cakupan ruang lingkup dan aturan prosedur yang memadai. Rumusan yang demikian tentu potensial akan menghambat penikmatan hak warga atas informasi, termasuk kebebasan untuk menyampaikan pendapat dan gagasan.
Kemudian‎, kasus penangkapan sejumlah orang dengan tuduhan makar yang terjadi menjelang akhir tahun, juga memperlihatkan tidak hati-hatinya aparat penegak hukum dalam penerapan pasal tersebut. Situasi ini terekam misalnya dari penangkapan ratusan aktivis hak-hak masyarakat Papua, yang pada 1 Desember 2016 merayakan aksi damai memperingati Hari Pembebasan Irian Barat, dan penangkapan sejumlah orang yang diduga terlibat dalam aksi 2 Desember 2016.Â
“Penggunaan pasal ini tanpa adanya kejelasan unsur-unsur dalam penerapannya, tentu akan sangat berbahaya bagi kelanjutan sistem demokrasi konstitusional, yang pada intinya menekankan pada kebebasan berpendapat dan berekspresi,” sambungnya.‎‎
Lalu‎, kasus intimidasi terhadap jurnalis juga masih terjadi di tahun 2016. Beberapa yang tercatat mulai dari perampasan foto (Malang), pengusiran (Banceuy, Dogiyai), dan pelarangan liputan hingga penganiayaan (Padang, Bulukumba, Lampung) terhadap jurnalis.Â
“Komitmen Pemerintah Indonesia terhadap Deklarasi Windhoek 1991 dipertanyakan, mengingat intimidasi dan kekerasan terhadap jurnalis merupakan pengabaian terhadap kemandirian dan keberagaman dalam jurnalisme,” lanjutnya.Â
Perlindungan terhadap jurnalis adalah fondasi penting dalam demokrasi yang bertujuan untuk meningkatkan akses ke sumber informasi dan menstimulasi analisis terhadap informasi dan keberagaman opini, terutama dalam masa-masa krisis (Frank La Rue, 2012).‎
“P‎engangkatan Jenderal (Purn.) Wiranto sebagai Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan adalah sebuah kemunduran terbesar di tahun 2016. Tahun 2003 Wiranto didakwa oleh Unit Kejahatan Serius PBB telah bertanggungjawab terhadap pembantaian dan serangkaian persekusi di Timor Leste,” ujarnya.Â
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) juga menyatakan dalam laporannya bahwa Wiranto juga bertanggungjawab dalam Peristiwa Penembakan Mahasiswa Trisakti, Kerusuhan Mei 1998 serta Kerusuhan Semanggi 1 dan Semanggi 2.
Pengangkatan Wiranto adalah kekecewan terbesar bagi masyarakat sipil karena keberadaannya dalam pemerintahan justru akan menghambat proses penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu, di mana dia sendiri diduga terlibat di dalamnya. Keputusan Pemerintah dapat diartikan sebagai bentuk pelanggengan impunitas dan memberi preseden buruk bagi usaha-usaha penciptaan perdamaian dan penegakan rule of law.
P‎ada medio 2016 pemerintah juga masih meneruskan praktik kejam eksekusi terpidana mati. 4 orang terpidana mati kasus narkotika tercatat dieksekusi pada 29 Juli 2016, padahal ketiga dari mereka masih memiliki hak mengajukan grasi yang belum diputuskan ketika mereka dieksekusi. Pada hari yang sama pihak berwenang Indonesia juga memberikan penundaan eksekusi mati di saat-saat akhir kepada 10 terpidana mati, agar pemerintah bisa meninjau kembali kasus-kasus mereka setelah menerima tekanan protes dari komunitas nasional dan internasional.Â
Selain tidak manusiawi, praktik ini juga sangat tidak sejalan dengan rapuhnya sistem peradilan pidana Indonesia, yang sangat terbuka peluang kesalahan penghukuman. Dalam banyak kasus, kesalahan penghukuman (wrongful conviction) menjadi sesuatu yang seringkali tak-terhindarkan dalam praktik hukum pidana.‎
“Khusus dalam peringatan Hari HAM Internasional tahun ini, PBB menegaskan bahwa setiap orang harus hadir secara bersama-sama demi hak asasi manusia orang lain. Gerakan ekstrimis, intoleransi dan penyebarluasan ketakutan menjadi gejala buruk yang menjadi tren di tahun 2016, sehingga negara-negara PBB harus secara bersama-sama “menegaskan kembali kemanusiaannya dan membuat perubahan yang nyata.†Pemerintah Indonesia dituntut untuk memajukan kebebasan sipil (civil liberties) dan menegakkan rule of law sebagaimana dimandatkan di dalam Undang-Undang Dasar 1945,” tandas dia.
Laporan: Muhammad Hafidh‎