SEPEKAN belakangan ini media seolah sudah “terhipnotis” dengan kasus penyelundupan motor gede Harley Davidson dan sejumlah barang mewah yang mengaitkan Dirut Garuda Indonesia I Gusti Ngurah Askhara Danadiputra hingga berujung pada kebijakan ekstrem Menteri BUMN, Erick Thohir yang memecat pria asal Bali yang karib disapa Ari itu dari perusahaan maskapai terbesar milik plat merah.
Erick Thohir bersama Menteri Keuangan, Sri Mulyani pun menggelar konfrensi pers terkait kasus penyelundupan barang mewah ilegal yang dilakukan oleh Ari. Dalam kesempatan tersebut Sri Mulyani tiba-tiba menanyakan seperti apa rasanya menaiki sepeda Brompton seharga Rp 50 juta yang masuk dalam list barang selundupan itu.
“Ini sepeda harga Rp 50 juta, bagaimana rasanya?” ucap Sri Mulyani di hadapan awak media.
Seketika media dan warganet menjadi heboh dengan pertanyaan Sri Mulyani yang seolah-olah tak pernah menikmati duduk di sadel dan mengayuh pedal sepeda lipat berukuran mungil yang harganya selangit. Mosok iya Menteri Keuangan yang juga mantan Direktur Bank Dunia tak pernah merasakan barang mewah?
Kebohongan Sri Mulyani-pun akhirnya terbongkar oleh akun @donadam86 yang menguak rekam digital berupa foto saat Sri Mulyani dan suami menaiki sepeda Brompton.
Dalam foto itu, tampak Sri Mulyani dan suami mengenakan kaus berwarna oranye bertuliskan Oeang Run. Sri Mulyani menaiki sepeda Brompton berwarna hitam, sementara sang suami menunggangi sepeda Brompton berwarna kuning.
Loyalis Sri Mulyani di Kemenkeu ternyata tak tinggal diam atas rekam digital si Bos saat menunggangi sepeda Brompton yang diunggah oleh akun @donadam86. “Mantra” untuk menepis serangan-pun dirangkai dengan cukup ciamik.
Kata Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kemenkeu, Nufransa Wira Sakti, “Foto tersebut diambil pada acara Sepeda Santai dalam rangkaian Hari Oeang Republik Indonesia (HORI) 2017 dan kedua sepeda tersebut bukanlah milik Menteri Keuangan dan suami, namun disediakan oleh panitia HORI 2018.”
Pihak Kemenkeu juga mengaku tidak begitu paham merek sepeda yang dipakai Sri Mulyani dan suami pada waktu itu.
Warganet-pun menduga Sri Mulyani mendapatkan sepeda tersebut dari pemberian orang, sehingga tidak mengetahui merek dan harganya.
Kelihatannya Nufransa tak menyimak pernyataan juragannya. Nufransa tak bisa membedakan konteks antara-memiliki dan merasakan. Apakah Nufransa tengah dilanda rasa panik, sehingga tak fokus dalam merangkai kata guna “menghipnotis” kembali warganet yang sudah kadung kecewa dengan kebohongan Sri Mulyani? Ataukah ia juga tertular virus mythomania dari si Bos?
Dilansir dari The Prisma UK, istilah mythomania pertama kali digunakan tahun 1905 oleh seorang dokter psikiatri, Ferdinand Dupre. Mythomania merupakan penyakit psikologis yang di mana penderita menjadi suka berbohong yang tujuannya untuk mendapat pujian.
Selain itu penderita mythomania ini mempercayai kebohongan yang ia buat sendiri. Penderita sering tidak menyadari bahwa mereka sebenarnya sedang berbohong.
Sri Mulyani Pejabat yang Suka Bohong?
Dalam hal terkecil, seperti tak pernah merasakan mengayuh sepeda Brompton saja, Sri Mulyani sudah tak jujur, bagaimana dalam hal yang besar? Tapi, tak elok rasanya melabeli Sri Mulyani sebagai pejabat yang kerap berbohong tanpa disertai data dan fakta.
Adalah mantan Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla, yang pernah mengatakan bahwa Sri Mulyani saat menjabat Menteri Keuangan (Menkeu) sekaligus Ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) bersama mantan Gubernur Bank Indonesia (BI) Boediono telah berbohong atas keputusan penyelamatan Bank Century dengan dikucurkan dana Penyertaan Modal Sementara (PMS) Rp6,7 triliun.
Fakta ini terungkap saat JK dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai saksi dalam sidang terdakwa mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) IV Bidang Pengelolaan Devisa dan Moneter Budi Mulya di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta, Kamis (8/5/2014).
Kebohongan Sri Mulyani dan Boediono ini berkaitan dengan keputusan penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik yang ditetapkan KSSK dalam rapat terbatas, yang dihadiri Sri Mulyani dan Boediono selaku Gubernur BI sekaligus anggota KSSK pada 21 November 2008 dini hari dan setelah pengucuran PMS Rp2,7 triliun pada 25 November 2008.
Berawal ketika anggota JPU Pulung Rinindoro mengkonfirmasi pengakuan Sri Mulyani dalam sidang Jumat 2 Mei 2014 silam. Pulung menuturkan, dalam kesaksiannya Sri Mulyani menyampaikan, setelah penetapan KSSK bahwa Bank Century ditetapkan sebagai bank gagal yang berdampak sistemik dan penanganannya diserahkan kepada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Kemudian Sri Mulyani mengirim pesan singkat (SMS) kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di-cc kepada Wakil Presiden.
“Apa terima SMS dari Sri Mulyani pada 21 November 2008 terkait keputusan tersebut?” tanya Pulung.
“Tidak, saya tidak pernah terima SMS itu,” kata JK di depan majelis hakim.
Saat itu, kata JK, dia menjadi pelaksana tugas presiden di dalam negeri karena Presiden SBY sedang menunaikan tugas ke luar negeri, Amerika Serikat. JK menegaskan, cc yang disebut Sri Mulyani adalah tembusan.
Tetapi sekali lagi tembusan laporan tidak pernah diterima. JK bahkan pernah menanyakan cc SMS tersebut, tetapi Sri Muyani tidak bisa menjawabnya.
“Saya cuma tanya mana SMS yang kau kirim kepada saya. Tapi Bu Sri Mulyani tidak bisa menjawabnya. (Kalau bisa tunjukan SMS) kenapa enggak dari dulu. Mungkin ada cc-nya, tapi mana saya terima, kan tidak,” ungkap JK.
Dalam kesaksian di depan majelis, JK melanjutkan, satu hari sebelum keputusan KSSK tersebut atau 20 November 2008 sebenarnya dia memimpin rapat kabinet bidang ekonomi sampai sore hari. Rapat tersebut turut dihadiri Sri Mulyani dan Boediono.
Dalam rapat itu dilaporkan bahwa Boediono dan Sri Mulyani secara kompak menyampaikan kondisi Indonesia tidak berada dalam ancaman krisis parah.
Menkeu dalam hal ini Sri Mulyani menyampaikan situasi Indonesia stabil dengan berbagai variable. Meski BI menyebut ada beberapa masalah likuiditas.
Sampai rapat selesai hari ini JK masih menganggap kondisi keuangan dan perekonomian Indonesia masih aman.
“Tidak ada laporan soal Bank Century saat itu. Kondisi kita aman saat itu,” tegasnya.
JK mengaku baru mengetahui ada rapat pra KSSK yang disertai rapat tertutup KSSK pada 20 November 2008 malam sampai 21 November 2008 malam terkait penetapan status Bank Century satu tahun kemudian. Itu pun dari laporan Badan Pemeriksaa Keuangan (BPK).
Lebih lanjut, tutur JK, pada 25 November 2008 Sri Mulyani menelepon untuk meminta waktu. Dari nada suaranya Sri Mulyani tampak tergesa-gesa dan terburu. Masih dalam sambungan telepon, Sri Mulyani meminta bisa menemui wapres selang dua atau tiga jam.
“Padahal biasanya kalau menteri menghadap wapres itu sampaikan surat atau kita jadwalkan. Tapi menteri minta ketemu cepat sekali. Tidak jelas saat itu sebagai Menkeu atau Ketua KSSK. Mungkin saja waktu itu sebagai Menkeu sekaligus ketua KSSK,” tuturnya.
Sri Mulyani kemudian hadir bersama Boediono. Sri Mulyani saat itu juga merangkap Menteri Koordinator Perekonomian ad interim. Dalam pertemuan tersebut Boediono tidak menyampaikan pemberian FPJP yang sudah dikucurkan Rp689 miliar oleh BI kepada Bank Century. Begitu juga bagaimana prosesnya. Boediono dan Sri Mulyani juga tidak menyampaikan keputusan KSSK.
Keduanya malah melaporkan pengucuran dana talangan Rp2,7 triliun dari LPS kepada Bank Century. Sri Mulyani dan Boediono tidak melaporkan terjadi penarikan dana oleh nasabah secara besar-besaran di sejumlah daerah.
Keduanya pun tidak menyampaikan kepada JK bahwa Century harus diselamatkan. Padahal, kedua pengambil kebijakan itu melaporkan kepada dirinya. Menkeu dan Gubernur BI melaporkan terjadi perampokan oleh Robert Tantular.
“Sorenya (20 November) masih bilang tidak ada apa-apa, lalu tiba-tiba terima laporan tanggal 25 (November 2008) beberapa hari kemudian dengan dana talangan yang sampai Rp2,7 triliun. Betul kata Sri Mulyani bisa mati berdiri kita, berarti keputusan yang diambil salah kan,” tandasnya.
Prestasi Hanya Imajinasi
Mantan Sekretaris Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Muhammad Said Didu juga pernah menguak kebohongan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati kepada rakyat Indonesia terkait capaian kinerja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018.
“Beberapa hari lalu, Menteri Keuangan Ibu Sri Mulyani menyampaikan bahwa tahun 2018 baru pertama kali sejak 2011 penerimaan APBN mencapai target dan tidak melakukan perubahan APBN. Pernyataan tersebut kurang tepat,” ujar Said yang menyertakan tagar #MARIKITAJUJUR melalui akun Facebook resminya ‘Muhammad Said Didu’ pada Rabu (2/1/2019).
Said beralasan, surplus penerimaan APBN sudah pernah terjadi pada 2007 dan 2008. Disebutkan Said, penerimaan negara pada 2007 sebesar 4 persen di atas target.
“Bahkan, di tahun 2008 seingat saya targetnya dinaikkan karena harga minyak naik dan saat itu terjadi krisis ekonomi tapi penerimaan 9,7 persen di atas target,” kata Said Didu.
Said juga tidak memahami alasan Sri Mulyani hanya mengambil rentang 2011-2018 untuk menunjukkan tren penerimaan. Ia menuding Sri Mulyani sengaja menutupi data 2007 dan 2008 sehingga masyarakat menganggap tercapainya target penerimaan 2018 adalah yang pertama.
Kemudian, Said juga menilai pemerintah keliru karena tidak mengajukan perubahan APBN 2018, khususnya pada target penerimaan yang semestinya dikerek. Pasalnya, tahun lalu, harga minyak, gas, dan batu bara menanjak.
Sebagai contoh, lanjut Said, asumsi harga minyak US$48 per barel, sementara realisasi adalah US$66 per barrel. Artinya, menurut Said, jika target penerimaan dibuat realistis -bukan dibuat rendah- dipastikan realisasinya tidak tercapai.
“Semoga ke depan semua makin jujur kepada rakyat. Hentikan pencitraan dengan data yang tidak valid,” tulis Said Didu.
Ratu Tega
Sri Mulyani boleh saja menyabet penghargaan sebagai Menteri Keuangan terbaik Asia Pasifik 2019 versi majalah FinanceAsia, karena faktanya memang terbaik untuk kreditur, bukan untuk rakyat Indonesia. Kok bisa?
Bank Indonesia (BI) mencatat Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada triwulan III 2019 mencapai 395,6 miliar dollar AS atau setara Rp 5.562 triliun (kurs Rp 14.061 per dollar AS). Jumlah tersebut terdiri dari ULN publik (pemerintah dan bank sentral) sebesar 197,1 miliar dollar AS, serta ULN swasta (termasuk BUMN) sebesar 198,5 miliar dollar AS.
ULN Indonesia tersebut naik 10,2 persen secara year on year (yoy), yang dipengaruhi oleh meningkatnya pertumbuhan ULN pemerintah di tengah perlambatan ULN swasta.
Memang tak ada yang salah dengan utang, tapi bila pengelolaan surat utang di mana bunga yang ditetapkan menjadi paling tinggi di kawasan Asia Tenggara, itulah yang menjadi masalah besar.
Sebab, dengan bunga yang lebih tinggi membuat pemerintah mesti menggelontorkan uang yang lebih besar ketika jatuh tempo. Contoh besaran utang yang mesti dibayar oleh pemerintah dengan besaran bunga lebih dari 8% dan tenor 10 tahun jauh lebih besar 135% dibanding Vietnam.
Artinya, kalau buat Indonesia bisa rugi, karena mesti membayar utang lebih mahal dari negara-negara di kawasan. Misalnya Vietnam itu 4,8% kalau dibandingin dengan tenor kita 10 tahun maka kita mesti bayar lebih mahal 135%.
Misalnya, bila kita merinci anggaran belanja pemerintah pada Juni 2019, disebutkan bahwa pembayaran bunga utang mencapai Rp 127,1 triliun atau tumbuh positif 13 persen. Sementara subsidi hanya sebesar Rp 50,6 triliun atau turun minus 17 persen.
Akibatnya, tarif dasar listrik pengguna 900 VA akan mengalami kenaikan, bahan bakar minyak melangit, dan tak ada lagi harga murah untuk gas tabung 3 Kg.
Subsidi yang menjadi hak untuk rakyat Indonesia yang masih sulit hidupnya dikorbankan Sri Mulyani untuk bayar bunga utang bagi para kreditur dan investor kaya raya.
Kehadiran Sri Mulyani dalam kabinet semakin menegaskan bahwa model neoliberalisme yang bertumpu pada pengetatan anggaran alias austerity policy akan terus dipertahankan pemerintah Jokowi di periode kedua.
Jadi, omong kosong bila Sri Mulyani katakan Indonesia akan ganti arah ekonomi mengikuti model Asia seperti Korea Selatan atau Jepang.
Berhati-hatilah pada pemimpin pejabat yang antara kata-kata dan perbuatannya bertolak belakang. Pidatonya boleh manis, tapi tindakannya kepada rakyat sangat sadis.
Kembali lagi pada temuan dokter psikiatri, Ferdinand Dupre terkait penyakit Mythomania, apakah penyakit itu sedang menjangkit pejabat-pejabat kita?
Oleh Tri Wibowo Santoso, Pergerakan Kedaulatan Rakyat (PKR)