DI sebuah video terlihat pasukan polisi sedang menembak aksi pengunjuk rasa dengan gas air mata. Tiba-tiba angin mengembalikan peluru yang ditembakkan tersebut ke arah kerumunan polisi sendiri.
Panik dan kocar-kacirlah para polisi ketakutan oleh pedihnya semburan gas airmata yang ditembakkan tersebut. Ini namanya senjata makan tuan eh makan Brimob. Berbalik sendiri.
Kerusuhan setelah penyusupan perusuh ke kelompok pengunjuk rasa yang sudah tertib sejak awal berdemo. Perusuh yang di video atau cctv antara lain terlihat berada bersama polisi melakukan perusakkan mobil.
Artinya polisi yang merusak mobil atau perusuh itu diduga “bagian” dari polisi. Ini artinya berbalik sendiri.
Lalu ada lagi konferensi pers di TV, Kapolri menerangkan berhasil menyita senjata dari demonstran. Menakutkan melihat canggihnya senjata serbu M-4 berpeluru tajam tersebut.
Rupanya muncul komen atas peristiwa itu, bahwa untuk barang bukti tak boleh dipegang tangan tanpa sarung tangan karena meninggalkan sidik jari.
Berarti pemegang “awal” senjata itu terbukti adalah Kapolri sebagaimana ada dalam barang bukti yang ditunjukkan itu. Berbalik sendiri lagi.
Memang tentu masih misteri siapa yang disebut perusuh itu. Konon diumumkan dan diakui oleh polisi bahwa mereka bukan dari demonstran murni.
Ada kelompok “preman” penyusup. Bertato diantaranya. Nah artinya para pengunjuk rasa itu bersih dari tuduhan sebagai perusuh.
Akan tetapi mengapa yang jadi sasaran tembak adalah pengunjuk rasa yang sedang bergerak pulang secara tertib meninggalkan arena?
Demikian pula korban luka dan tewas bukan mereka yang merangsek melawan aparat. Mengapa tak ada dari “ratusan” perusuh penyusup yang menjadi korban? Semua pertanyaan jika dijawab bisa saja berbalik sendiri.
Secara hukum tak bisa kesalahan hanya berdasar dugaan. Harus didasarkan pada “penyelidikan” dan “penyidikan” kemudian pembuktian yang terang. Itulah tuntutan masyarakat atas kejadian yang dramatis ini.
Pihak kepolisian katanya membentuk tim untuk menyelidiki kasus ini. Rakyat dan masyarakat komen lagi dengan nyinyir janganlah begitu nanti “jeruk makan jeruk”.
Harus ada tim pencari fakta independen yang dibuka akses seluas luasnya oleh pihak kepolisian untuk menyelidiki.
Dengan cara yang terbuka ini maka kepolisian siap menunjukkan kepada seluruh bangsa Indonesia bahwa institusi pengayom masyarakat itu bersih dari pola rekayasa rekayasaan.
Penyusup benar-benar pihak ketiga yang secara konsisten dan konsekuen akan menerima hukuman yang setimpal.
Kasus ini tak boleh berhenti di tengah jalan penyelidikannya harus tuntas karena bukan hanya rakyat telah melihat tontonan dari suatu kerusuhan tetapi juga kebrutalan tindakan yang mungkin merupakan pelanggaran HAM berat.
Wiranto boleh sukses mematikan akses informasi tapi kamera yang bertebaran merekam gambaran peristiwa. Termasuk Masjid yang diobrak abrik.
Pak Wiranto tak perlu banyak mengancam pula, karena fakta yang sulit dibantah bapak lah yang telah melakukan pembunuhan atau pembantaian itu. Membunuh informasi dan membantai medsos.
Meskipun beberapa jam nyatanya telah sangat merugikan. Dan ini adalah pelanggaran HAM.
Oleh M Rizal Fadillah, Pemerhati Sosial, Tinggal di Bandung