KedaiPena.Com – Perpres Nomor 58 Tahun 2020 tentang Penataan dan Penyederhanaan Perizinan Impor yang baru-baru diterbitkan berbahaya. Perpres ini sangat membahayakan bagi produk-produk lokal bangsa Indonesia, karena barang impor akan semakin membanjiri Indonesia.
Demikian disampaikan Anggota Komisi VI DPR RI Fraksi PKS Amin AK kepada KedaiPena.Com, Minggu, (26/4/2020).
“Padahal saat ini berdasarkan data BPS, Neraca Perdagangan Indonesia bulan Maret 2020 surplus sebesar 743 juta US$. Nilai Ekspor Maret 2020 sebesar 14,09 Miliar US$ dan Impor hanya 13,35 Miliar US$. Apakah ada tekanan asing di bulan Februari dan Maret 2020 yang menyebabkan munculnya Perpres 58/2020,” ungkap Amin.
Amin sendiri mengungkapkan alasan mengapa perpres tersebut berbahaya pasalnya persyaratan teknis untuk izin impor dapat ditangguhkan dalam keadaan tertentu yang tertera dalam pasal 5 ayat 3.
“Persoalannya, penetapan keadaan tertentu tersebut, dapat dilakukan Menteri Koordinator Perekonomian bersama pejabat yang ditunjuk atas nama menteri. Bisa Dirjen, atau siapapun, lewat mekanisme rapat koordinasi (pasal 4 ayat 2). Artinya, Presiden bisa “cuci tangan” saat impor besar-besaran terjadi (dan ini boleh dilakukan tanpa izin persyaratan teknis) sehingga bisa sangat merugikan pelaku usaha dalam negeri,” tegas Amin.
Amin melanjutkan dalam keadaan tertentu pasal 5 ayat 3 yang membolehkan impor tanpa persyaratan teknis juga tidak detail. Misalnya saat harga melebihi tingkat kewajaran tidak dijelaskan patokan angka atau presentasenya.
“Atau disebutkan terganggunya distribusi dan kurangnya pasokan yang membuka peluang pelaku usaha oligopoli yang berfungsi sebagai price maker, dapat menahan supply dan mengontrol distribusi lalu bermitra dengan mafia impor. Pasal 5 ayat 3 ini jelas-jelas adalah pasal “karet,” beber Amin.
Belum lagi, lanjut Amin, pasal 4 dan 5 ini juga menabrak ketentuan yang tertuang dalam UU 7 tahun 2014 tentang Perdagangan, dimana perizinan impor dilakukan oleh Menteri Perdagangan pasal 49 ayat 2 dan Pasal 45 ayat 1 UU 7/2014.
“Di pasal 6 Perpres ini menyebutkan BUMN dapat ditugaskan melaksanakan impor produk/barang untuk pemenuhan kebutuhan, ditugaskan oleh Menteri BUMN.” Ini juga berpotensi tumpang tindih kewenangan karena di UU Perdagangan (Pasal 45) menyebutkan bahwa “Impor barang hanya dapat dilakukan oleh importir yang memiliki pengenal sebagai importir berdasarkan penetapan menteri. Dalam hal ini Menteri Perdagangan,” ungkap Amin.
Lebih parah lagi, lanjut Amin, perpres ini juga dapat menegasikan UU lantaran semua ketentuan peraturan UU mengenai pemberian persyaratan perizinan impor tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan seperti yang termaktub dalam pasal 10.
“Ini seakan-akan UU yang bertentangan dengan Perpres menjadi tidak berlaku, atau dengan kata lain, Perpres berkedudukan lebih tinggi dibanding UU,” tegas Amin.
Amin melanjutkan barang impor dalam pepres ini bahkan diperlakukan sebagai raja seperti pada pasal 8 Perpres yang menyebutkan barang impor dapat diberikan fasilitas pajak, kepabeanan dan cukai.
“Ini terjadi di saat produk-produk lokal khususnya UMKM terus dimarjinalkan tanpa dibuka akses pasar dan insentif yang memadai,” ungkap Amin.
Amin menambahkan tanpa adanya pasal 8 Perpres 58/2020 barang impor seringkali lebih murah dibanding produk lokal semisal komoditas pertanian dan Bahan Bakar Minyak (BBM).
“Seringkali barang impor sektor pertanian lebih murah dibanding produk petani lokal. Hal ini karena biaya logistik yang mahal, produktifitas lahan yang rendah, dan tata niaga hasil pertanian yang dikuasai pengepul (pasar oligopoli),” tandas Amin.
Laporan: Muhammad Hafidh